Perjalanan
selalu menyisakan cerita…
Cerita selalu
indah untuk dibagi…
Akan tetap
indah jika kita memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan...
Aku memilih
untuk berbagi, karena bagiku menuliskan kisah perjalanan seperti berbagi
kebahagiaan dan hikmah…
Akan kukisahkan kepadamu tentang perjalanan satu pekan di Pulau nan unik
bentukannya, yang memiliki keunikan proses geologi, Negeri Daeng…
Preparation
“Terkadang
orang yang paling mengkhawatirkanmu adalah orang yang paling menyayangimu…”
Beberapa hari ini Ibu teramat rajin
menghubungiku, mulai dari mendiskusikan jurusan kuliah Muthia, pesantren
Muthia, hingga menanyakan segala hal terkait kepergianku ke Makassar. Aku tau
ibu khawatir, setiap kali Aku ada agenda kuliah lapangan Ibu selalu begini.
Beberapa kali beliau menanyakan terkait kuliah lapangan, “apa aja yang dikerjakan di lapangan?”, “perginya sama siapa aja?”, hingga memberikan beberapa wejangan yang
lumayan panjang. Terkadang tercetus juga pembicaraan dari Ibu yang mengatakan “seharusnya Aku jangan masuk geologi”,
Aku hanya menjawab santai sambil sedikit tertawa “asyik kok bu di geologi, sering jalan-jalan”…
Tak bisa dipungkiri, ibu memang agak
sedikit cerewet kalau terkait hal-hal begini, mungkin itulah ungkapan sayang
seorang Ibu pada anak perempuannya. Ibu juga sering mengatakan kepadaku “Nanti kalau sudah punya anak, akan faham
sendiri gimana kalau di posisi Ibu”. Aku sedari dulu memang agak ngeyel,
sering memohon-mohon untuk diizinkan pergi kemana-mana, pengen ikut lomba
ini-itu di daerah sini, ikut acara ini-itu di daerah sana. Saat itu saja sudah
susah memohon izin pada Ibu, padahal agendanya rata-rata hanya di ruangan plus agenda jalan-jalan cantik. Apa
kabar dengan ini? agendanya full
lapangan, gimana Ibu nggak heboh?...
Terlepas dari semua kekhawatiran itu,
Ibu memberiku izin dengan lapang. Aku menyiapkan segala hal terkait kebutuhan
di lapangan. Mulai dari perlengkapan lapangan hingga perlengkapan pribadi.
Semua terasa cepat, hingga tibalah hari keberangkatan itu.
H-1
(21 Maret 2016)
“Selalu
ada tangan-tangan yang tak terlihat, ia bernama ketulusan…”
Agenda ekskursi ke Makassar ini hampir
menjadi wacana, jika ingat proses perjuangan panjang dan berliku memperjuangkan
proposal ke Chevron. Teman-teman panitia dan para dosen berjuang keras untuk
ini, Alhamdulillah Allah masih
memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar di Negeri Daeng. Banyak
tangan-tangan yang tak terlihat yang telah membantu memperjuangkan ekskursi
ini, kuberi nama ia ketulusan-terima
kasih Great Team Panitia Ekskursi SULSEL 2016, Para Dosen, dan Chevron.
Ekskursi Geologi Regional merupakan
satu mata kuliah wajib dengan bobot 2 SKS yang harus diselesaikan oleh setiap
mahasiswa Magister Teknik Geologi ITB. Kami mahasiswa Teknik Geologi 2014
mendapatkan kesempatan untuk menjalani mata kuliah ini di Negeri Daeng-Sulawesi
Selatan.
Hari ini adalah hari keberangkatan
kami. Panitia telah mengingatkan untuk berkumpul di gerbang utama kampus jam 2
siang, dengan agenda mengumpulkan koper dan foto bersama. Setelah zuhur, Aku
dan Norma turun dari kosan, mulai menarik koper sepanjang lorong Titiran Dalam,
suara roda koper cukup membuat keributan sepanjang lorong :D. Cuaca mulai
mendung, saat kami menaiki angkot gerimis turun. Ketika sampai di depan gerbang
utama, gerimis semakin deras. Kami bersegera menuju gerbang utama untuk
mengumpulkan koper, disana telah menanti beberapa teman panitia. Usai
mengumpulkan koper, kami menemui salah seorang adik tingkat untuk meminjam lupnya. Agenda foto-foto baru dimulai
pukul 15.30, setelah sebelumnya dibagikan peralatan dan baju lapangan oleh
panitia.
22.00
Aku, Norma dan Ageng berangkat dari
kosan menuju tempat penantian angkot. Beberapa angkot telah berlalu, namun
belum ada 1 angkot-pun yang di hati :D (baca: belum ada 1 angkot pun yang
sesuai dengan tujuan kami). Kami mulai berinisiatif untuk memesan taxi, belum
selesai berdiskusi, Alhamdulillah
angkot yang kami tunggu akhirnya datang juga. Bapak angkot berbaik hati
mengantarkan kami hingga mendekati Kubus ITB, titik kumpul yang disepakati, Alhamdulillah…
Kami berangkat dari ITB jam 23.00
menggunakan bis menuju Bandara Soeta…
Day 1 (22 Maret 2016)
“Kita
tak hidup dengan kenangan, tapi kita dan kenangan adalah 2 hal yang tak
terpisahkan…”
03.00
Bis yang kami tumpangi dari ITB mendecit,
tak lama kemudian berhenti. Aku yang masih setengah sadar dengan segera
memperhatikan daerah sekitar, Bandara Soeta. Tanpa dikomando para penghuni bis
membereskan barangnya masing-masing lalu bersegera turun. Berombongan memasuki
bagian ruang tunggu bandara, panitia membagikan snack tengah malam dan air minum, kami makan dalam diam “antara ngantuk dan lapar” :D.
 |
Waiting... |
Di ruang tunggu bandara, teman-teman
mengambil posisi PW masing-masing, ada yang mulai tidur, ada juga yang masih
asyik bercerita dalam forum-forum kecil. Koper kami telah dibawa oleh EO (event organizer) untuk check in. Aku dan beberapa teman cewek
memilih untuk beristirahat di musholla. Belum 30 menit kami berada di musholla,
kami sudah diminta berkumpul kembali di ruang tunggu untuk foto bersama dan check in.
05.00
Kami berangkat menuju Makassar dengan menaiki
maskapai Garuda Indonesia, 46 orang cukup membuat heboh pesawat. Setelah agenda
tukar menukar tempat duduk, akhirnya Aku, Norma dan Ageng bisa duduk bertiga.
Kami menikmati perjalanan ini, meskipun dengan tubuh yang masih terasa letih
dan mengantuk, beberapa teman ada yang memilih langsung tidur, ada yang memilih
membaca guidebook ekskursi, dan Aku
memilih menonton film “Surga yang Tak Dirindukan” :’(.
08.00 (WITA)
Perjalanan ditempuh selama kurang
lebih 2 jam. Kami sampai jam 8 pagi di Makassar. Kedatangan kami telah ditunggu
oleh para dosen yang telah tiba terlebih dahulu di Makassar. Kami berangkat
dengan 3 bis pariwisata, kelompok 1 – 4 berada di bis 1, kelompok 5 – 7 berada
di bis 2, dan kelompok 8 – 10 berada di bis 3. Aku termasuk dalam kelompok 4 – bis
1. Di bis 1 ada 3 orang dosen, Pak Mino, Pak Eddy dan Pak Yan.

Terik mentari kota Makassar terasa
menyengat, semuanya belum ada yang mandi, gerah. Alhamdulillah, ketika memasuki bis yang ber-AC sedikit terkurangi
rasa gerah, Aku duduk bersebelahan dengan Mbak Ditta. Kami menuju singkapan
pertama yang termasuk dalam Formasi Mallawa, perjalanan ditempuh kurang lebih 2
jam dari bandara. Sepanjang perjalanan kami melewati singkapan-singkapan
batugamping yang menurut penjelasan dosen termasuk dalam Formasi Tonasa. Kami
juga melewati singkapan-singkapan batuan vulkanik yang termasuk Formasi Camba,
tanah yang subur merupakan salah satu penciri daerah ini, sawah-sawah yang
menghijau dihiasi dengan kehadiran rumah panggung khas Sulsel memperindah
pemandangan, MashaAllah.
 |
Formasi Malawa |
Formasi Mallawa terletak di Desa
Mallawa, singkapan yang kami kunjungi terdiri dari perlapisan batupasir kuarsa,
batugamping Nummulithes sebagai
keybed, serta serpih (shale) dengan
sisipan karbon. Fosil Nummulithes
yang ditemukan sebagai penanda umur lapisan ini (diperkirakan Eosen), begitulah salah satu cara
geologist menentukan umur suatu batuan. Sederhananya, kita harus mengenali
hewan yang pernah hidup beribu hingga berjuta tahun yang lalu pada batuan yang
tersingkap tersebut (yang sekarang telah menjadi fosil), setelah kita kenali,
kita bisa memperkirakan hewan tersebut hidup pada zaman apa? Dan itu artinya
batuan ini diendapkan di zaman tersebut.
Sejenis
ilmu meramal-kah?
Bukan,
kurasa ini lebih mendekati detektif, karena kita harus punya bukti…
13.30
Kami makan siang di RM. Family, menu
makanan khas Makassar disuguhkan, hal ini membuatku flashback ke kenangan tahun 2011 lalu mengunjungi kota ini. Waktu
itu, kami tim MTQ dari Univ. Jambi sangat bersemangat ingin mencicipi menu khas
kota ini, Coto Makassar, baru 1 suap kami memakan menu khas kota ini, kami
saling pandang, dan kompak berkata kalau kami lebih memilih Indomie (maklum
lidah Sumatera, apa lidah anak kost :D). Hari ini saat Aku berada di depan
hidangan ini, fikiranku melayang pada tahun 2011, Aku tersenyum sendiri,
kuambil makanan sekedarnya, semoga Aku tak memilih Indomie, hatiku membatin. Rasa
lapar dan lelah akibat perjalanan jauh membuat lidahku tidak begitu sensitif
dengan rasa makanan disini, meskipun tidak begitu lahap, tapi berhasil habis, Alhamdulillah.
14.30
Kami bergerak menuju stopsite berikutnya, Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung. Aaah, Aku kembali terjebak dalam kenangan, tahun 2011.
Kami Tim PIMNAS Univ. Jambi mengunjungi objek wisata ini, dengan tujuan
jalan-jalan, menikmati wisata kupu-kupu, dan tebing-tebing bebatuan. Waktu itu,
Aku tidak peduli dengan batu, kami berfoto dengan suka-cita diantara
tebing-tebing bebatuan, hanya karena 1 alasan #keindahan. Dan hari ini, Aku
kembali kesini, dengan tujuan yang sama sekali berbeda, mempelajari bebatuan
pada objek wisata ini. Kami memasuki pintu masuk objek wisata, Pak Budi mulai
menjelaskan bahwa daerah ini termasuk dalam Formasi Tonasa, dengan geomorfologi
karst tipe menara (tower karst),
diperkirakan ketinggian maksimun mencapai 500 m. Menara-menara karst ini serupa
dengan karst yang ada di Guangzhou-China.

Pengamatan dilanjutkan ke Gua Batu,
perjalanan lumayan melelahkan karena kami harus melewati anak-anak tangga yang “lumayan
jumlahnya”. Akhirnya kami tiba juga di Gua Batu, disana dijelaskan mengenai
hasil pelarutan batugamping berupa bentukan stalagtit
(atas) dan stalagmit (bawah).
Bentukan ini memperindah pemandangan gua.
17.00
Leang-leang merupakan stopsite ketiga
hari ini. Sepanjang perjalanan menuju Leang-leang, Aku takjub dengan keindahan
pemandangan menara-menara karst dan hijaunya sawah, tak heran jika pegunungan
karst di daerah Maros ini diakui sebagai kawasan karst terbesar kedua di Dunia
setelah Guangzhou-China, MashaAllah
indah nian alamMu J. Memasuki
Leang-leang, pemandangan semakin unik dengan bebatuan-bebatuan yang terkesan
berserakan di atas rerumputan yang hijau. Tanpa dikomando, kami segera
mengabadikan momen dengan cara masing-masing :D. Daerah ini masih termasuk
dalam Formasi Tonasa. Disini terdapat jejak kehidupan purbakala berupa jejak
tangan di dinding-dinding gua.
19.00
Kami tiba di penginapan-M Regency
Hotel Makassar. Setelah agenda makan malam, kami bersegera menuju kamar
masing-masing. Aku sekamar dengan Norma, baru saja memasuki kamar, hal pertama
yang Aku bayangkan adalah tidur, tapi bayangan itu segera kutepis mengingat
kami harus kembali berkumpul di ruang pertemuan untuk kuliah malam dan membuat
laporan….#oh laporaan.
21.00
Semua peserta berkumpul di ruang
pertemuan, Aku duduk bersama teman sekelompokku. Kami berlima 1 kelompok (Aku,
Mas Taufik, Mas Indra, Aulia, dan Shodaq), mereka guru-guru hebat tempat Aku
belajar. Norma juga ikut duduk bersamaku, salah satu anggota kelompokku
bertanya,
Kita
ber-enam ya?
Aku langsung ngeh,
Eh,
nggak kok, Norma ada kelompoknya, jawabku.
Aku tahu persis Norma, dia belum
nyaman untuk bergabung dengan kelompoknya, dia butuh waktu untuk bisa menyatu
dengan orang-orang yang baru baginya.
Malam itu, kami mengerjakan laporan
individu. Aku orang terakhir yang belum menyelesaikan laporan, akhirnya Aku
berinisiatif melanjutkannya di kamar. Jam 01.30 selesai dan tidur, tidur terasa
begitu berharga.
Day 2 (23 Maret 2016)
Setiap
orang adalah guru, setiap tempat adalah kelas, dan setiap peristiwa adalah
ilmu…-A’Deda
Sebelum menceritakan apa kegiatan kami
pada hari kedua, Aku ingin memperkenalkan personil kelompok 4 terlebih dahulu,
mereka guru-guru terbaik untukku:

- Mas Indra, abang yang baik hati, ahli
foto-foto kece (fotografer),
menguasai bidang bebatuan terlebih batuan beku. Saat Aku menemukan singkapan
batuan beku, Aku sering mencari beliau yang biasanya sudah siap melihat batuan
dengan lupnya #berguru. Oya, foto-foto di tulisan ini banyak mencantumkan hasil jepretan beliau (mohon iziin mas..hehe...).
- Mas Taufik, kadang dipanggil bang Topik,
penuh semangat, humoris, menguasai sedimentologi, stratigrafi, struktur dan
banyak lagi. Beliau yang paling sering Aku ikutin, meskipun Aku hanya sebagai
asisten yang meneteskan HCl atau sebagai fotografer singkapan
#asisten_yang_agak_cerewet_dan_suka_nanya_macem2 :D. Bukankah dengan mengikuti
guru kita bisa kecipratan ilmunya? :D #berguru.
- Aulia, biasa dipanggil Aul, dari
penampakan luarnya sih serius, tapi ternyata menjadi orang yang paling sering
bikin #ketawa-guling-guling, ada beberapa kasus yang menimpanya bikin ketawa
gak putus-putus #maszuriseffect sampai dia bergelar Aul the Tap-Tap. Punya kebiasaan ngomong “huufft” dengan aksen ala-ala-nya
:D. Dari Aul Aku belajar, ngerjain laporan malam itu butuh tertawa :D #berguru.
- Shodaq, terkadang juga dipanggil
MasMus, termasuk salah satu orang yang ter-bully
oleh maszuris disamping Aul, kalau di lapangan sering explore sendiri, tapi terkadang penemuannya di lapangan menjadi
data berharga di kelompok kami #berguru.
- Norma, anggota kelompok tambahan
#penyusuup :D. Temen foto ala-ala, emak-emak super penuh pencitraan, kadang
dibilang kembaran, sering jadi tersangka orang Sumatera padahal Sulawesi tulen
:P, anti keju dan susu, selama ekskursi sering #ngobat (yang jenisnya antimo
:D), temen curhat, wkwk,, pokoke Partner
in Crime-lah #berguru.
Setiap
orang adalah guru…dan
mereka adalah guru bagiku…
(*mohon
maaf untuk deskripsi yang agak lebay :D)
07.45
Setelah sarapan pagi dengan menu yang
beraneka-ragam, kami meninggalkan M-Regency menuju singkapan Bantimala Complex.
Jalanan di dalam kota macet, Aku mencoba menikmati perjalanan, walaupun seluruh
persendianku mulai terasa sakit #ini baru hari ke-2.
Keluar dari keramaian kota, kami
disuguhi pemandangan menara-menara karst yang membentang, sawah-sawah yang
sedang menghijau mempercantik lukisan alam ini. Di sepanjang perjalanan
truk-truk pabrik marble lalu lalang
menandakan kalau tak jauh dari sini terdapat pabrik marble.
10.15
Akhirnya kami sampai juga di stopsite
pertama, setelah sebelumnya sempat salah jalur yang berakibat keterlambatan
waktu hingga satu jam. Lokasi pertama terletak di daerah Bantimala. Batuan khas
yang terdapat di daerah ini adalah perlapisan rijang (dominan), batugamping
merah dan sisipan batupasir. Rijang dan batugamping merah merupakan sedimen
laut dalam. Singkapan ini termasuk ke dalam complex
melange Bantimala, batuan ini sebagai batuan dasar yang mendasari cekungan
Sulsel.
11.30
Dari Bantimala kami menuju ke daerah
Siloro, disini kami menemukan perlapisan batupasir dan batulempung (Formasi
Mallawa). Pada singkapan ini ditemukan intrusi batuan beku yang menerobos
Formasi Mallawa (granit?/syenit?) #jawabannya-kita-temukan-di-hari-presentasi.
Tujuan selanjutnya, Pabrik Marble.
13.20
Marble
Factory yang bernama PT. Dayo Cayo, penampakan dari
luarnya terlihat tidak begitu luas. Setelah dipersilahkan masuk, salah seorang
pekerja pabrik mengantarkan kami ke bagian dalam pabrik, ternyata pabrik ini
cukup luas. Di sepanjang jalan terlihat potongan-potongan batugamping berbentuk
kotak yang siap dipotong menjadi marmer, beberapa marmer yang telah dipotong
siap untuk diangkut. Di pemberhentian terakhir, terlihat crane yang digunakan untuk mengangkut batugamping terletak di
tengah-tengah lapangan, di sekelilingnya menara-menara karst masih tegak
berdiri (#entah untuk berapa lama lagi?). Singkapan ini masih termasuk dalam
Formasi Tonasa dengan ciri khas bentukan karst tipe menara, pada potongan-potongan
marmer yang berserakan kami mendeskripsi, terdapat batugamping dengan fosil Numulithes dan ganggang. Berdasarkan
penjelasan pekerja pabrik, produksi marmer disini sekitar 700 kubik/bulan,
terdapat 12 motif marmer yang diproduksi, motif terbaik C1 (motifnya marmernya alami
dari fosil :D), adapun peralatan yang digunakan untuk memotong batugamping
menggunakan wire (kawat). Agenda
ditutup dengan penyerahan oleh-oleh Brownies Amanda dan foto bersama. Bis
beranjak menuju RM. Raja Muda untuk makan siang.

16.50
Setelah agenda makan siang di RM. Raja
Muda kami bertolak menuju daerah Barru. Singkapan yang ditemui berupa batuan
beku (plagiogranit?), yang merupakan anggota dari ofiolit. Menurut dosen
petrologi, kompleks ofiolit merupakan nama himpunan batuan yang co-genetic (berasal dari 1 genesis
magma). Kehadiran ofiolit mewakili oceanic
material, ofiolit sering juga disebut sebagai fosil dari subduksi.
19.00
Kami mendarat di Hotel Delima Sari-Parepare
(Selamat Datang di Kampung Pak Habibi J).
Agendanya seperti biasa, meletakkan barang, bersih-bersih, ngumpul di ruang
pertemuan, mengerjakan laporan harian, tidur jam 02.00.
 |
Waktunyaa laporaaan -_- |
Day 3 (24 Maret 2016)
Geologi
itu dari hal yang sangat LUAS hingga yang sangat DETAIL…
07.30
Kami meninggalkan Delima
Sari-Pare-Pare menuju Pantai Dutungan. Kota Pare-Pare, termasuk daerah yang baru
berkembang, beberapa infrastruktur terlihat masih dalam masa pembangunan, desain
kotanya unik, di sisi kanan terlihat hamparan hijau sawah, di sisi kiri pantai
terbentang, alamnya indah, MashaAllah.
Di bis 1, tiba-tiba terdengar suara
Pak Eddy memecah suasana bis yang mulai hening-hampir tertidur.
“Laporan
selama 2 hari ini dikumpulkan yaa”…kata beliau.
Suasana yang awalnya hening langsung
pecah dengan suara kertas, yah…empat kelompok yang berada di bis itu sibuk
membereskan kertas masing-masing, sebagian ada yang masih menulis-menambahkan
isi laporan. Kelompokku sepertinya sudah pasrah, tidak berniat menambahkan isi
laporan, setelah ku-hekter langsung
kuserahkan laporan kelompokku kepada Pak Eddy.
Setelah semua kelompok mengumpulkan
laporan, ternyata laporan tersebut langsung dikoreksi oleh para dosen yang
berada di bis itu. Suasana kembali hening, hanya terdengar obrolan para dosen
yang sibuk mengomentari laporan kami, terkadang mereka menertawakan laporan
kami yang katanya “suka membuat sketsa
non-geologi”, terlalu berjiwa “reporter”,
dan masih banyak lagi, Aku yang duduk tepat di belakang salah seorang dosen,
ikut senyum-senyum sendiri mendengarnya.
08.30
Semakin mendekati Pantai Dutungan,
jalan semakin menyempit, kanan-kiri jalan dipenuhi kerimbunan pohon mangga,
jenis rumah panggung khas Sulsel mendominasi perumahan penduduk. Tepat pukul
08.30, akhirnya kami sampai di Pantai Dutungan.
Hembusan angin pantai menyambut
langkah kaki kami memasuki Pantai Dutungan. Aku dan Norma segera mengikuti Mas
Taufik dengan misi berguru. Hal yang pertama kali kami perhatikan adalah
keseluruhan dari singkapan (hal yang LUAS) selanjutnya digambarlah sketsa
singkapan, Aku mengambil beberapa jepret foto singkapan. Setelah itu kami
melihat lapisan batuan di singkapan ini lapis-demi-lapis, mulai dari jenis
litologinya, struktur sedimennya, kontak antar lapisan, porositas, sortasi, kemas
antar butir, hingga mengecek apakah batuan ini karbonatan atau tidak
(pengecekan dilakukan dengan meneteskan HCl), satu hal yang tak boleh dilupakan
adalah mengukur kedudukan lapisan batuan dengan kompas (DETAIL sekaliii
bukaan?). Mas Taufik mendeskripsikan segala sesuatunya dengan sangat cepat!,
sesekali Aku masih sibuk menanyakan beberapa hal yang membingungkan bagiku,
jenis struktur sedimen, fragmen yang mengambang (floating) dan banyak lagi. Tapi sungguh, geologi itu memang
tergantung jam terbang teman, dan Aku yakin guruku yang satu ini jam terbangnya
sudah tinggi.

Akhirnya kami menyimpulkan, singkapan
ini berupa perlapisan batupasir, batulempung, dan konglomerat, terdapat
struktur slump, paralel laminasi, ripple
cross stratification dan convolute
pada perlapisan batupasir-batulempung. Singkapan ini termasuk dalam Formasi
Pare-pare. Keterdapatan struktur sedimen yang khas pada singkapan ini,
mengindikasikan endapan turbidit.
09.30
Rombongan beranjak menuju Enrekang. Sejak
awal memasuki bis, suasana sudah riuh oleh suara gelak-tawa, terbawa penasaran
Aku-pun ikut menyimak pembicaraan Mas Zuris, eh, ternyata Aul ditertawakan Mas
Zuris karena gak sengaja menginjak benda “terlarang” di Pantai Dutungan. Kata
teman-teman, Aul gak salah kok, yang salah saat dia menginjak “sesuatu” itu ada
Mas Zuris, dan kalau sudah mendengar Mas Zuris menceritakan ulang kejadian
tersebut, jadi bertambah “lucu” saja. Nah, itulah awal dari gelar #AultheTap-Tap :D.
Aku tidak ingat kapan berhentinya
kehebohan di bis gara-gara #kasusAul,
yang jelas sekarang suasana bis sudah kembali hening, sebagian besar
penghuninya sudah mulai tertidur, sepertinya rata-rata menganut prinsip hotel
adalah tempat begadang mengerjakan laporan, dan bis adalah tempat tidur dan
istirahat. Aku masih memperhatikan jalanan, bis mulai memasuki daerah Enrekang,
disisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon rambutan yang sedang
berbuah-kemerahan.
12.00
Bis berhenti, Aku terjaga dari tidur,
ternyata kami berhenti di depan Kantor Bupati Enrekang. Di sisi lain jalan raya
terlihat adanya pembangunan kantor, tertulis besar merek GADIS, yang terakhir baru
Aku tahu, bahwa GADIS itu singkatan dari “Gabungan Dinas”, masyarakat disini
sepertinya hobi membuat singkatan. Kami semua turun, hujan rintik-rintik menyambut
kami, para dosen melihat singkapan yang berada di dekat pembangunan kantor yang
bermerk GADIS. Setelah diobservasi ternyata singkapan ini tidak ada harapan
untuk diamati, kamipun segera menaiki bis untuk mencari singkapan lain.

Tak jauh dari singkapan tadi, kami berhenti
di singkapan lain yang terletak di sisi jalan raya. Singkapan berupa
konglomerat dengan ukuran fragmen yang sangat bervariasi dari 1 cm-1 m, tidak
kompak, kemas terbuka, pemilahan buruk, terdapat imbrikasi (orientasi butir), fragmen terdiri dari batugamping,
rijang, batuan beku, sekis, serta berupa batuan campuran lain, matriks berupa
lempung. Endapan ini diinterpretasikan sebagai endapan mollase. Mollase disebut juga endapan syn-orogenic (sedimen yang diendapkan setelah proses orogenic/pembentukan pegunungan) atau
biasa juga disebut endapan pasca benturan/collision.
Endapan mollase umumnya memiliki ciri-ciri tertentu, pemilahan besar butirnya
buruk, sedimennya banyak terdiri dari lempung dan fragmen batuan, dan belum
cukup terkonsolidasi (tidak kompak). Jika dikaitkan dengan tektonik Sulsel,
mollase diendapkan terkait dengan peristiwa tektonik akhir pliosen-kuarter
(pensesaran blok, perlipatan, dan pengangkatan sebagian besar Sulsel),
singkapan ini dimasukkan dalam Formasi Walanae.
13.00
Bis terus berjalan ke arah utara
memasuki daerah Bambapuang. Tak lama kemudian berhenti di tepi jalan
Enrekang-Toraja. Singkapan termasuk dalam Enrekang Volcanic Series, terlihat
perselingan tipis antara batulempung dan batulanau dengan sisipan batupasir
yang terlipat dan tersesarkan.
15.00
Bis berhenti di sebuah rumah makan,
JEMZ namanya. Kami segera keluar dari bis dengan semangat, ada dua faktor
penyebabnya, yang pertama faktor lapar yang kedua di depan kami ada pemandangan
indah perbukitan triangular facet. Secara
pribadi, Aku termasuk orang yang bersemangat karena faktor kedua, perbukitan
ini benar-benar indah, mahakarya pahatan sang Pencipta, mashaAllah, lukisan
alam!.
Setelah mengambil makanan di bawah,
Aku bersegera mengajak Norma ke lantai atas rumah makan, misi kami mencari
moment dan geofotografi :D. Pemandangan di atas benar-benar membuat kami tak
menghiraukan nasi, Cantik! Asli!. Alhasil yang kami lakukan di atas benar-benar
foto-foto sambil makan.

Masyarakat setempat menamai perbukitan
ini dengan sebutan bukit Nona, sebagian lagi menamainya dengan sebutan erotic mountain, adapun menurut ilmu
geologi perbukitan ini bernama triangular
facet. Pak Budi menjelaskan tentang proses terjadinya morfologi perbukitan
ini, menurut beliau triangular facet mengindikasikan adanya proses sesar, lalu
terjadi proses erosi pada tebing patahan atau biasa disebut gawir, setelah
erosi terjadi gawir akan mulai terkikis dan membentuk alur yang membelah gawir
menjadi bagian-bagian, setelah erosi lanjutan, maka akan terlihat
bentukan-bentukan seperti segitiga (triangular
facet). Ada rule of thumb didunia geologi: Semakin indah alam suatu wilayah, maka semakin dinamis dan dahsyat
proses geologi yang telah dan sedang terjadi diwilayah tersebut.
16.00
Stopsite selanjutnya di daerah
Cakke-Enrekang, singkapannya berupa blok batugamping yang dulunya digunakan
masyarakat sebagai tempat pemakaman masyarakat Toraja Purba (sebelum Islam).
Singkapan merupakan bagian dari Formasi Makale (lebih muda dari Formasi
Tonasa). Di tengah-tengahnya terlihat kuburan masyarakat Toraja Purba berbentuk
perahu-perahu yang berjajar. Bentukan perahu ini dibuat karena mereka meyakini
perahu sebagai wahana untuk menghantarkan orang yang telah meninggal, sebagaimana
leluhur mereka dahulu datang dari Sungai Sadang dengan menggunakan perahu.
17.30
Kami berhenti di pintu gerbang Tana
Toraja, disana adalah singkapan terakhir kami hari ini. Singkapan berupa
batugamping coquina (banyak terdapat
fosil moluska, gastropoda, dll) kontak dengan batulempung-batupasir.
Diinterpretasikan ini merupakan kontak Formasi Makale dan Formasi Toraja.
19.30
Kami sampai di Toraja Missiliana
Hotel, awal kedatangan disambut dengan tabuhan suara gendang di bagian lobby
hotel, selanjutnya kami dihidangkan makanan khas Toraja, unik!. Selesai makan, kami menuju kamar masing-masing, konsep
kamarnya beda, seperti rumah-yang di depannya ada beranda, dan antar kamar
sebelah-seperti tetangga rumah (mulailah bermain tetangga-tetanggaan dengan
Friska dan Ageng :D).
“Hai tetanggaa…”teriak Mak Oma
“Haai tetanggaa…”disahut oleh Ageng
dan Friska dari sebelah.
#duuh…emak-emak inii….
Malamnya seperti biasa kami
mengerjakan laporan kelompok dan individu, hingga jam 3 pagi.
Day 4 (25 Maret 2016)
Kearifan
lokal, pesona Indonesia yang memukau!...
08.30
Konsep hotel Toraja Missiliana
benar-benar mengedepankan kearifan lokal Toraja, hampir di setiap sisi dijumpai
rumah Tongkonan (rumah adat Toraja). Inilah yang membuat hotel ini terasa unik
dan berbeda. Kami segera ambil posisi mengabadikan momen dengan latar belakang
Tongkonan. Tongkonan adalah rumah adat Toraja dengan ciri rumah panggung dari
kayu, kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap
Tongkonan dilapisi ijuk hitam dengan bentuk sekilas mirip tanduk kerbau seperti
rumah adat Minang dan Batak. Menurut warga setempat yang sempat kuwawancarai,
fungsi dari Tongkonan ini adalah untuk pelaksanaan upacara adat seperti upacara
pernikahan dan kematian. Di bagian depan Tongkonan biasanya terdapat ornamen
tanduk kerbau, jumlah tanduk kerbau ini melambangkan kemampuan ekonomi sang
pemiliknya saat upacara kematian keluarganya.
09.00
Berangkat dari hotel kami menuju
daerah Pongtiku. Singkapan berupa granit, terdapat xenolith yang berwarna gelap dipotong urat-urat kuarsa dan terdapat
kekar. Xenolith merupakan struktur
yang memperlihatkan adanya fragmen batuan lain (batuan asing) yang tertanam
dalam batuan beku, struktur ini terbentuk akibat peleburan tidak sempurna dari
batuan samping di dalam magma yang menerobos. Menurut penjelasan dosen granit
ini berumur 9 juta tahun yang lalu (pasca
collision).
 |
Granit |
Tak jauh dari singkapan pertama, kami
menemukan singkapan kedua berupa singkapan batusabak (slate). Batusabak berwarna abu-abu gelap, memperlihatkan foliasi,
untuk mengukur foliasi prinsipnya sama seperti mengukur bidang perlapisan.
Batusabak merupakan batuan metamorf dari batuan asal shale, termasuk dalam batuan metamorf foliasi. Foliasi diartikan
sebagai penglihatan berlapis atau berlembar pada permukaan batuan akibat
orientasi kesejajaran mineral penyusun batuannya.
 |
Slate |
10.00
Stopsite selanjutnya berada di daerah
Kaleakan. Singkapan berupa batulempung, berwarna merah, menyerpih, terdapat
klorit. Keterdapatan klorit di dalam batulempung menandakan batulempung
tersebut telah mengalami metamorfosisme derajat rendah. Berdasarkan studi
terdahulu, batuan ini termasuk Formasi Latimojong.
 |
Batulempung merah |
11.30
Waktunya shalat Jum’at untuk para
cowok, mencari masjid di daerah Toraja tak semudah daerah Makassar, akhirnya
diputuskanlah untuk shalat di Masjid yang terletak di Pasar Rantepao. Saat para
cowok shalat, para ibu-ibu pun berburu oleh-oleh dan souvenir di Pasar. Usai
shalat dan berbelanja, kami makan siang di ayam penyet RIA, lokasinya tepat
berada tepat di bawah Rumah Doa.
14.30
Kami berangkat ke Lemo. Lemo merupakan
salah satu tempat pemakaman masyarakat Toraja. Singkapan berupa lava, terdapat autobreccia di beberapa titik.
Berdasarkan penjelasan Pak Kahar (dosen UNHAS) untuk menguburkan mayat disini
dibutuhkan waktu 3 bulan menggali kuburnya, lebih tepatnya menggali batu, fantastis!. Selain tempat penyimpanan
mayat yang terlihat seperti kotak-kotak, disini juga terdapat boneka-boneka
yang disusun seperti mengucapkan “selamat
datang” #eh. Namanya tau-tau,
berdasarkan informasi yang Aku peroleh dari warga setempat, boneka ini dibuat
persis seperti orang yang telah meninggal, hanya kaum bangsawan yang biasanya
dibuatkan boneka tau-tau. Konon, penamaan masyarakat toraja berasal dari 2 kata
“tau” yang berarti orang dan “maraya” yang berarti bangsawan. Jadi,
kalau Aku artikan secara awam, boneka tau-tau bisa diartikan sebagai
orang-orangan.
15.30
Kami menuju stopsite berikutnya, entah kenapa hari ini Aku merasa tidak seperti
ekskursi geologi, tapi lebih kepada “ekskursi
budaya”, mengenal budaya dan kearifan lokal masyarakat Tana Toraja dari dekat.
Aku tahu Indonesia punya pesona sendiri dengan budayanya.
Londa nama tempat pemberhentian kami
berikutnya, masih area pemakaman!. Kali ini agak sedikit berbeda dengan yang
pertama, Londa lebih ramai oleh para wisatawan. Di bagian depan tebing batuannya
terlihat banyak karangan bunga, ternyata itu adalah ucapan belasungkawa. Di
mulut gua, kami mendengarkan penjelasan dosen, singkapan ini merupakan
batugamping Formasi Makale, terlihat adanya bentukan berupa stalagtit dan
stalagmit.Untuk mengamati lebih lanjut ke bagian dalam gua rombongan dibagi
menjadi 2 kelompok, Aku ikut di kelompok ke 2 yang ternyata tanpa dosen.

Kami memasuki gua dengan penerangan 2
lampu petromax yang dibawa oleh warga setempat, pemandangan yang terlihat di
dalam adalah tulang-belulang dan tengkorak manusia yang disusun pada bebatuan,
berkali-kali Aku mencoba membayangkan, “tenang
ini bukan tengkorak manusia beneran, ini hanya alat peraga yang dulu sering
digunakan untuk belajar biologi di sekolah :”(“. Di sisi lain, tampak peti-peti
jenazah bersusun, hanya diletakkan saja, pelan Aku mencoba mendekati salah
seorang pembawa lampu,
“Di
dalam peti ini ada mayat?” tanyaku…
“Iya,
mayatnya diletakkan disini setelah diberi formalin, sampai menjadi tulang
belulang”, jawabnya…
Ada perasaan sedih, merinding, dan
penasaran bercampur aduk saat itu. Tapi jiwa reporter-ku membuat banyak pertanyaan di kepala, hingga terjadilah
beberapa wawancara singkat dengan pembawa lampu tersebut. Ia bercerita, kalau
dalam 1 tempat perkuburan hanya untuk tempat pemakaman 1 marga, semakin tinggi
status sosial seseorang, maka tempat persemayamannnya akan semakin tinggi.
Mengenai tulang belulang yang telah hancur, untuk menyusunnya kembali, harus
melalui 1 upacara adat lagi, namanya Upacara Ma’nene biasanya dilaksanakan 4 tahun sekali. Iseng Aku bertanya
dalam pelaksanaan upacara kematian berapa kerbau yang harus dikorbankan, ia
menjawab 24 kerbau!, angka yang terbilang fantastis!, apakah orang disini hidup
hanya untuk menyiapkan kematiannya? modal mati mahal.
17.00
Ke’te Kesu, itulah nama tempat
pemberhentian selanjutnya. Disini banyak terdapat Tongkonan, ada juga yang
sedang dibangun. Menurut penjelasan dosen, Tongkonan di sisi kiri (arah
selatan) sebagai tempat hunian dan di sisi kanan (arah utara) digunakan sebagai
lumbung padi. Berdasarkan literatur yang kubaca, Tongkonan itu atapnya selalu
menghadap ke utara, karena leluhur mereka datangnya dari utara. Daerah ini,
masih termasuk dalam batugamping Formasi Makale, dengan ciri membentuk bukit
karst biasa, tidak seperti tower/menara.
18.00
Kami kembali ke hotel. Agenda
selanjutnya seperti biasa mengerjakan laporan individu dan kelompok, entah jam
berapa baru mendarat di kasur :D.
Day 5 (26 Maret 2016)
Apapun
penyakitnya, obatnya hanya tiduuur…
08.00
Akhirnya kami harus meninggalkan
Toraja, salah satu tempat di Indonesia yang masih menjaga kearifan lokalnya
dengan baik, tak heran banyak wisatawan lokal dan mancanegara yang berkunjung
kesini. Pagi itu, Aku masih menatap Tongkonan di area hotel, sebentar lagi kami
akan melanjutkan perjalanan ke arah selatan, selamat tinggal Toraja, entah
berapa tahun lagi Aku akan kembali kesini, atau mungkin ini kali pertama dan
terakhir berkunjung kesini.
09.30
Stopsite pertama hari ini di tepi
jalan raya, singkapan granit yang diperindah dengan air terjun (#deskripsi batu
atau pemandangan sih??? :D). Pada granit ditemukan xenolith yang terorientasi, terdapat juga bentukan seperti kekar
kolom yang menandakan intrusi.
11.30
Perjalanan yang cukup panjang dari
stopsite pertama ke stopsite kedua, membuat seisi bis hening, tiduur.
Sepertinya tadi malam banyak yang begadang hingga pagi, jadi rata-rata mengganti
jam tidurnya dengan istirahat di bis. Rasanya saat ini, obat semua penyakit
hanya tidurrr. Pemberhentian kedua membangunkan tidur panjang kami semua.
Batusitanduk, singkapan terletak di
tepi sungai, termasuk dalam Formasi Lamasi. Batuan ini merupakan kelompok
batuan volkanik yang terbentuk sekitar 150 juta tahun yang lalu, terlihat
diabas dan basalt saling memotong, terdapat struktur boudin yang menandakan bahwa batuan ini telah mengalami peregangan
dan penggembungan. Menurut salah satu dosen struktur, boudin merupakan salah
satu istilah yang berasal dari bahasa Prancis “boudin” yang berarti sosis karena bentukannya seperti sosis.
12.30
Kami memasuki daerah Songka, disini
tersingkap singkapan andesit basaltis, afanitik, amigdaloidal, terlihat seperti
bentukan lava bantal?. Berdasarkan pentarikhan, umur batuan ini diperkirakan
berusia 28-32 juta tahun yang lalu.
15.00
Makan siang di Rumah Makan Wija to
Luwu, disini kami disuguhkan menu yang agak sedikit berbeda, sagu. Awalnya agak
sedikit aneh Aku melihat menu ini, Aku mulai menebak-nebak kira-kira ini jenis
sayur apa ya? lembek gini, akhirnya ku taruh sedikit di atas nasi. Sampai di
meja Aku ditertawakan beberapa teman,
“Mbak,
itu kok sagunya dicampur nasi?” Ageng bertanya…
“Lho,
ini sagu yaa?” jawabku polos :D
“Iya
neng, ini sagu yang sering diriku ceritain”, jawab Mak
Oma dengan bahagia sambil nyemil sagu…
Oooh…ternyata ini saguu #kudet.
Setelah acara makan, dilanjutkan dengan
nonton Prof. Emmy nyanyi :D.
17.00
Singkapan terakhir hari ini terletak
di daerah Patirosompa. Pada singkapan ini dijumpai mollase, termasuk dalam Formasi Walanae.
19.00
Kami mendarat di Hotel Pondok Eka
Sengkang. Malam ini kami mengerjakan laporan di ruang pertemuan, tapi ada yang
sedikit berbeda, dosen memberi tahu bahwa inilah malam terakhir untuk
menyiapkan bahan presentasi yang akan dipresentasikan besok malam, hectic!. Alhamdulillah, malam ini dibebaskan dari pembuatan laporan harian,
jadi kami bisa fokus mengerjakan bahan presentasi. Setiap kelompok sibuk dengan
kehebohannya masing-masing, mulai dari kesibukan mencari colokan, sibuk
bagi-bagi tugas, pilah-pilih foto singkapan, hingga menganalisis event tektonik
yang terjadi di daerah pengamatan kami. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul
3 pagi, dan ruangan ini masih saja ramai dengan kesibukan masing-masing, bahan
presentasi belum selesai.
Aku lupa jam menunjukkan pukul berapa
saat ini, tapi badan terasa sudah agak melayang-layang, bahan persentasi
kelompokku baru 50%. Akhirnya kelompokku memutuskan untuk tidur, bergegas Aku
balik ke kamar. Jujur, Aku merasa kasihan melihat kamar hotel ini, disewa
mahal-mahal hanya untuk mandi dan tidur beberapa jam saja L. Tidur menjadi hal
yang mahal.
Day 6 (27 Maret 2016)
Ketika
Granit jauh lebih baik daripada Syenit…
07.40
Pagi ini Aku kesiangan, dan ku fikir
bukan hanya Aku, hampir semua teman-teman juga kesiangan #efek begadang
semalam. Setelah beres-beres barang, makan, lalu kami menuju bis, ternyata ada
beberapa teman yang masih berada di hotel, jadi keberangkatan pagi ini agak
ngaret dari jadwal yang direncanakan, hampir pukul 8 baru meninggalkan hotel. Dari
cerita beberapa orang teman, ternyata semalam banyak kelompok yang tidak tidur
semalaman, mereka selesai jam 5 pagi, pulang ke kamar tidak tidur, beres-beres,
makan, lalu menuju bis untuk tidur #superb. Di bis beberapa teman merubah
posisi tempak duduk, duduk bersama teman sekelompoknnya, agar bisa sambil
mengerjakan slide presentasi. Hawa-hawa
presentasi terasa semakin dekat!.
08.20
Wajah-wajah lelah dan kurang tidur
memenuhi seisi bis. Beberapa terlihat sudah bersiap-siap mengatur posisi untuk
tidur. Tapi sepertinya tidur belum menjadi hak kita saat ini temaan, belum
terlalu jauh berjalan, bis berhenti, welcome
singkapan pertama!.
Sengkang, singkapan pertama hari ini.
Singkapan ini merupakan bagian dari Formasi Walanae. Batuan coklat kemerahan,
bentuk butir membulat-membulat tanggung, ukuran fragmen 1-30 cm, matrik
batupasir karbonatan, kemas terbuka, pemilahan buruk, matrik supported,
terdapat urat yang berisi gypsum katanya
:D (#repoter mode-on)…
09.00
Sepanjang perjalanan menuju singkapan
berikutnya, kami menemui antiklin di tepi jalan, serta pemandangan indah. Tapi
sayang, mata sudah terlalu berat, beberapa teman mulai memejamkan mata. Belum
lama berselang, bis kembali berhenti, stopsite berikutnya menanti!, tidur hanya
angan-angan untuk saat ini temaan :D.
 |
Batugamping Formasi Tacipi |
Stopsite kedua terletak di daerah
Patirosompa, tebing Tacipi. Disini ditemukan batugamping bioklastik dengan
kenampakan porositas vuggy dan moldic, ditemukan juga gas seepage dan jejak dead oil. Apabila kami memecahkan batugamping dengan palu, maka
akan tercium bau seperti bau solar dari batuan tersebut, jejak hidrokarbon.
Menurut penjelasan dosen, daerah ini merupakan tempat eksplorasi pertama dari
Sengkang basin.
10.15
Masuk bis dan kembali bersiap-siap
untuk tidur. Akan tetapi harapan itu kembali sirna, dosen mulai menunjuk-nunjuk
singkapan di tepi jalan (singkapan baru). Akhirnya kami kembali berhenti,
stopsite ketiga!.
Berjalan beriringan kami keluar dari
bis, dengan langkah terseok-seok #lebay, kalau Aku gambarkan sudah seperti
pasukan zombie. Di depan kami
terlihat singkapan serpih berwarna gelap, perlapisan batupasir dan
batulempung, terdapat banyak fosil
moluska.
14.00
Dari singkapan ketiga menuju ke singkapan
terakhir, Alhamdulillah kami memiliki
jeda waktu yang lumayan panjang. Inilah waktu yang sangat berharga untuk tidur,
para dosen-pun mempersilahkan kami untuk tidur.
Salah seorang dosen berkata kepada
kami,
“Wah
segar-segar sekali wajah kalian yaa?” ini benar-benar majas ironi.
Ada juga yang berkata kepadaku,
“Saya
sudah kasihan sekali melihat wajah kamu” gubrak L.
Bis sudah hening, semuanya
memanfaatkan waktu yang berharga ini untuk tiduuur.
Cukup lama kami terlelap, akhirnya
sampailah kami di stopsite terakhir, Sungai Ningo. Disini ditemukan kontak
antara Formasi Kalimaseng dengan Formasi Tacipi. Meski kontak langsung tidak
terlihat, tetapi Formasi ini berada pada lokasi yang sangat berdekatan.
18.30
Perjalanan menuju ke Makassar
dihabiskan dengan mengerjakan slide, termasuk kelompokku. Beberapa orang teman
sudah menyerah mengerjakan slide di bis, mual katanya, apalagi jalan yang
ditempuh berkelok-kelok. Alhasil, penyelesaian slide di bis tertunda.
 |
Kerja Kelompok Kilat! |
Kami tiba di M-Regency Hotel Makassar
kembali. Setelah meletakkan koper di lobby, semua bergegas makan, dan langsung
dilanjutkan dengan kerja kelompok, menuntaskan slide!. Jam 8 malam slide harus
dikumpulkan dan dipresentasikan, countdown
1,5 hours.
20.00
Salah seorang dosen mendatangi meja
kami, memberikan lot undian, nomor urut presentasi. Setelah tolak-menolak
dengan teman satu kelompok, akhirnya Aku yang mengambil undian, 5-B urutan
terakhir di ruangan B. Slide masih dirampungkan, siap-tak siap akhirnya kami
menuju ruang presentasi dalam keadaan kucel dan belum mandi, tak ada yang
peduli.
Presentasi kelompok pertama dimulai,
cukup mulus, tapi ada salah seorang dosen yang memprotes mengenai nama batuan
pada singkapan hari pertama #bukan syenit tapi granit, saya sudah mengoreksinya
di lapangan, tambah dosen tersebut. Presentasi dilanjutkan dengan kelompok
kedua, ternyata masih dengan masalah yang sama #syenit, kali ini sang dosen
agak sedikit tersinggung, beliau berkata,
“Jika
masih ada yang menggunakan syenit setelah ini, saya tidak akan menilai”
suasana di ruang presentasi mulai gaduh.
Dosen lain memberi kode, “Kelompok yang lain diganti yaa jangan pakai
syenit”
Kompak kelompok yang belum kebagian
jatah presentasi utak-atik slide #demi-syenit :D.
 |
Para Dosen Penguji |
Akhirnya tibalah giliran kelompokku,
ada beberapa koreksi terkait penggunaan istilah petorologi serta beberapa
pertanyaan terkait event tektonik yang ditanyakan oleh penguji.
 |
Fourth Group |
24.00
Presentasi rampung, dilanjutkan foto
bersama, dan makan duren, Alhamdulillah.
Aku dan Norma pulang ke kamar, setelah sebelumnya mengambil koper di lobby.
Akhirnya malam ini bisa tidur dengan agak
tenang.
Day 7 (28 Maret 2016)
Setiap
peristiwa pasti memiliki hikmah…
07.30
Ini hari kepulangan kami. Sebelum
sarapan, dilakukan agenda foto bersama di depan hotel. Setelah sarapan pagi,
Aku mengikuti kuliah Prof. Emmy yang diselenggarakan untuk mahasiswa UNHAS,
judulnya mengenai Dasar-dasar Petrologi dan Aplikasinya.
09.40
Kami meninggalkan hotel, menuju salah
satu toko oleh-oleh kota Makassar. Perjalanan dilanjutkan menuju salah satu
kuliner khas Makassar, Coto Makassar. Lalu dilanjutkan ke tepian pantai losari
dengan misi utama-foto-foto. Ada yang berbeda setelah agenda presentasi malam
itu, sekarang foto-foto ada teriakan yang baru 1, 2, 3….syeniiiit :D, #bunciss
udah gak jaman lagi.
14.00
Kami sampai di Bandara Sultan
Hasanuddin, bersiap untuk kembali ke Bandung, berangkat menuju Jakarta pukul
16.00.
Alhamdulillah, sampai Bandung pukul
24.00.
-----------------------------------------------------------
Bagiku
setiap perjalanan seperti mengumpulkan serpihan-serpihan hikmah…
Memungut
dan merangkai serpihan hikmah yang terbentang di Alam-Mu…
Ataupun
memperolehnya dari Makhluk-Mu…
Terkadang
hikmah itu terserak, terdampar, tersirat, ataupun tersurat…
Semoga
perjalanan ini memberikan hikmah terbaik…
Hikmah
yang membawa kepada dzikr dan syukur :)
Aaamiin allahumma aaamiin…
-belajar
dari alam-
“Allahumma
a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik…”
Ya Allah bantulah Aku untuk
mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik
kepada-Mu…
Semoga perjalanan ekskursi geologi
kami di Sulawesi Selatan sepanjang kurang lebih 750 km untuk merunut waktu
selama kurang lebih 120 juta tahun yang lalu, penuh berkah, penuh dzikir kepada
pencipta alam ini, menambah rasa syukur, dan ilmunya penuh manfaat…Aaamiin.
Berjalan, mengitari ujung selatan
pulau K, searah putaran jarum jam…
CLOCKWISE South-Sulawesi! FINISH :) Alhamdulillah…
Closing
Dan hari ini, ditemani laporan
ekskursi yang tak kunjung usai, hidung mampet, badan meriang panas-dingin :”(
(semoga jadi pelebur dosa), Alhamdulillah
diservis hayatiers dengan makanan se-RT (makasih emak-emak), dan masih ditemani
#telfon-ibutersayang, kukenang dan kukisahkan kembali kisah perjalanan ini,
semoga bermanfaat dan penuh berkah.
Hikmah itu pelajaran terbaik, beberapa
hikmah yang kupetik:
- Berfikir tentang ciptaan Allah,
kesempurnaannya, keseimbangannya, kejadian ciptaan Allah, semakin menyadari
betapa agung penciptanya, MashaAllah… :’) #hikmahbelajargeologi.
- Berjalanlah bersama temanmu, kau akan belajar
banyak darinya J.
Selama ekskursi banyak hal yang dipelajari dari teman, mulai dari ilmunya,
tabiatnya, ataupun nasihat tersirat. Tentang belajar dari teman perjalanan juga
terdapat dalam Surah Al-Kahfi tentang kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, there is a lot of hikmah…
- Terakhir hikmah yang begitu mengena tentang
cermin. Kami menginap di beberapa hotel yang memberikan lampu yang temaram,
sehingga saat Aku bercermin tidak menyadari kalau warna kulit telah berubah,
saat sampai di salah satu hotel di daerah Sengkang yang lampunya cerah, saat
itulah Aku baru menyadari bahwa wajahku sudah benar-benar berubah, dan itulah
#cerminkejujuran. Bukan itu sebenarnya hikmah yang ingin kuceritakan, tapi
masih satu tema tentang “cermin”. Sungguh, banyak sekali Allah hadirkan
cermin-cermin di sekitarku, dari orang-orang yang aku temui, dari lembutnya
cara alam menegur kita, pantulan cermin-cermin kejujuran itu seolah
menyadarkanku untuk #segeralahberbenah…
Bukankah pelajaran
terbaik adalah pelajaran yang merubah sang pembelajar ke arah yang lebih baik?
Bandung, 08 April 2016
@rahmimulyasari