Sabtu, 07 Januari 2012

Memory at Sungai Tapa *Yang Buat Undang-Undang Cubo Hidup Disini


Siang yang terik, aroma minyak tanah yang dipadu bau limbah pabrik menyengat di tengah-tengah pasar. Lelaki berkulit coklat itu sedang membungkuk, sibuk menyusun sandal-sandal di tokonya. Toko sederhana yang berukuran 4x7m, di cat dengan warna hijau pudar. Toko itu berisi pakaian, sendal, sepatu dari berbagai mode dan ukuran. Di beranda toko terdapat 3 drum seng yang bercat merah putih bertuliskan PERTAMINA, ternyata dari sinilah berasal aroma menyengat minyak.
Aku yang sedari tadi berkeliling pasar tertarik untuk sedikit beristirahat disitu. Aku memperkenalkan diri dan berkenalan dengannya, persis seperti yang diajarkan instruktur kursus menulisku Mas Andreas dan Mas Fahri.
Irwan namanya, 38 tahun, sudah sekitar  7 tahun berjualan pakaian dan menjadi pengecer minyak di sebuah pasar yang terletak di KM 2,5 kelurahan Tebing Tinggi, Tanjung Jabung Barat, sekitar 2,5 jam dari kota Jambi bila ditempuh dengan mobil. Tebing Tinggi adalah sebuah desa yang telah berubah menjadi sebuah kelurahan karena perkembangannya yang pesat, terdapat 4 pabrik dalam 1 desa.
Pak Irwan, begitu panggilannya, tersenyum menyambut kunjunganku. Senyum yang ramah yang juga diberikannya kepada setiap pengunjungnya. Aku mulai mengajaknya bercerita, mengenai ketertarikannya dalam dunia usaha, padahal penduduk mayoritas disini adalah para pekerja pabrik.
                “Pertamonyo sih jadi kontraktor di pabrik, berenti trus ngojek, jualan minyak, trus jualan pakaian,hasilnyo lumayan hebat!!” ungkapnya sambil tertawa.
                Obrolan terputus, oleh datangnya seorang pembeli minyak. Irwan dengan terampil memompa minyak dengan menggunakan pompa petromininya, pemandangan yang unik. Aku memperhatikan keakrabannya dengan para pembeli, pelayanan yang ramah.
                Dahulu ia pernah bekerja sebagai kontraktor di perusahaan yang terdapat di tebing Tinggi, mengurusi bagian pemasangan instalasi listrik. Tapi, akhirnya berhenti karena kecewa dengan sikap perusahaan yang tidak tanggap terhadap kondisi anakanya.
                “Waktu itu Widya umurnyo 2 tahun Mbak, dio Step, saya kalut, dak punyo duit, tapi ternyato perusahaan dak ngasih asuransi. Saya kecewa Mbak...Lalu Saya pengen keluar be dari perusahaan” ungkap Irwan sambil mengelap tangannya yang terkena minyak.
                Irwan mulai menghisap rokoknya...
                “Enaknyo yo jualan gini Mbak, dak ado yang ngatur-ngatur, tapi yo walaupun gitu ado susahnyo jugo”...
                “ Yo, memang yang namonyo kerjo itu ado susah senangnyo Pak”ungkapku menghibur.
                Lama dia terdiam sambil terus menghisap rokoknya…
                “Mbak, yang buat Undang-undang itu siapo yo?”Mbak kan Mahasiswa…
                Aku tersenyum, sedikit bingung…
                “Hmm…kalo dak salah anggota DPR pak, emang ado apo Pak?” Aku diburu rasa penasaran. Apa yang membuat si Penjual minyak memikirkan si Pembuat Undang-Undang???
                “Gini Mbak, Aku cuma pengen Mbak bayangkan be, kan ado Undang-undang yang melarang pengecer minyak untuk beli minyak pakek gallon, tapi cubo Mbak bayangkan jugo, kayakmano orang-orang di Tebing Tinggi ni biso hidup? Kalo dak ado yang jualan minyak (pengecer minyak), SPBU paling dekat 20 KM dari sini, orang mau masak pakai apo? Mano yang rumahnyo lebih di pedalaman lagi..,
                “Yang buat Undang-undang cubo hidup disini…”
                Aku tercenung, mencoba memikirkan permasalahan yang dihadapi Irwan, cukup berat, mengingat hal ini berkaitan dengan profesinya.
                “Mungkin maksud pemerintah untuk di kota besak kayak Jambi Pak, nantik takutnyo ado penimbunan minyak, pemerintah kayaknyo dak tau dengan kondisi kayak gini Pak” aku mencoba berargumen.
                “ Pemerintah dak mau tau, bukan dak tau yo, beda Mbak” Irwan menjawab dengan nada sedikit putus asa.
                “Dak mungkinlah pemerintah dak tau kalo ado rakyatnyo yang tinggal di daerah terpencil, tapi Undang-undang tu tetap be ado, kalo di jalan pulang bawak gallon dari SPBU di razia polisi, keno dendo, gara-gara Undang-undang tu…”
                Percakapan diputus, oleh datangnya Simbolon,mengenakan kaos singlet putih, kontras sekali dengan kulitnya yang coklat, dari raut wajah dan gaya bicaranya mencirikan kalo dia orang Batak. Potongan rambutnya pendek di bagian belakang, dan panjang menjuntai di bagian depannya. Ia datang menggunakan motor yang telah dipasang keranjang rotan di bagian belakangnya berisi 6 gallon tempat minyak.
                Irwan seperti biasa, beramah tamah dengan Simbolon, dan memeperkenalkanku kepada Simbolon,
                “Ini Mbak yang biaso ambek minyak ke SPBU, sering keno razia…” katanya menatap Simbolon sambil tertawa.
                “Oh lah biaso Mbak, dirazia…jatuh bawak gallon jugo sering, mati be yang belum” Simbolon menyambung dan ikut tertawa.
                Di kelurahan Tebing Tinggi terdapat lebih kurang 100 orang pengecer minyak. Mereka mengambil minyak ke SPBU dua kali sehari atau ada juga yang sekali sehari, tergantung persediaan minyak mereka. Minyak ini dibawa dengan menggunakan keranjang rotan yang berjumlah 6 sampai 9 gallon pada satu motor, muatan yang luar biasa beratnya. Tekadang, ada juga pengecer minyak yang jatuh karena beratnya muatan serta sulitnya medan yang mereka tempuh, akibatnya  mengalami cedera dan patah tulang.
                Belum lagi, ditambah dengan razia polisi yang menjerat mereka, dikarenakan melanggar Undang-Undang. Biasanya persoalan ini berakhir dengan membayar denda. Kisarannya 15- 20 ribu rupiah.
                “Biasonyo disuruh bayar 15 sampai 20 ribu Mbak, tapi dak dibawak ke pengadilan Mbak” ungkap Simbolon.
                Lama Aku terdiam memikirkan permasalahan mereka, sementara mereka sibuk menyusun gallon-gallon yang akan dibawa ke SPBU. Aku mengingat satu kata dari seorang pengecer minyak,
                “Yang buat Undang-undang cubo hidup disini”.
                Ini hanyalah sepotong kisah, dari 100 kisah pengecer minyak lainnya.