“Alam takambang jadi guru”,
merupakan salah satu filosofi minangkabau yang sering kudengar dari Ibuku,
yang jika kuartikan secara sederhana bahwa dari alamlah kita bisa belajar dan
mendapatkan ilmu. Sebuah filosofi yang sangat erat kaitannya dengan ayat Allah
dan ilmu geologi (ilmu bumi). Dan kali ini Alhamdulillah
Aku diberikan kesempatan yang sangat berharga untuk bisa berguru dari tempat
wisata fenomenal “LEMBAH HARAU”.
Teringat di perkuliahan Perkembangan
Konsep Sratigrafi beberapa waktu lalu, sang dosen menanyakan tentang Harau yang
fenomenal ini :
Dosen : “Ada yang dari Payakumbuah?”
(perlahan Aku mengangkat
tangan, yaah meskipun Aku lebih merasa sebagai orang Jambi karena hampir
seluruh hidupku kuhabiskan di Jambi, tapi jiwaku tetap minang. Dan yang barusan
disebutkan oleh dosen itu adalah kampung Ibuku, yang artinya kampungku juga :D).
Dosen : “Anda pernah ke Harau?”
Aku : “Tidak Pak”, jawabku sambil menggeleng
Dosen : “Di harau itu ada batupasir merah dan batupasir putih, saya
kasih kamu PR untuk pergi ke Harau”
(aku sedikit terperangah, tapi ada satu kata
yang kusimpan hari itu, HARAU).
Minggu
berikutnya, seolah terlupa dengan pertanyaannya pada minggu sebelumnya, sang
dosen kembali menanyakan pertanyaan yang sama : ADA YANG DARI PAYAKUMBUAH???,
dan Aku sudah tahu pertanyaan selanjutnya adalah tentang HARAU, beserta batupasir
merah dan putihnya. Itulah kenapa Aku katakan bahwa Harau adalah tempat wisata
fenomenal.
Liburan semester I kemarin, Aku
pulang ke Jambi. Orang tuaku memintaku untuk menemani Muthia kembali ke sekolahnya
di Padang Panjang. Mengingat adikku ini memiliki agenda shooting (macam artis, hehe) yang dijadwalkan jauh lebih awal dari
jadwal sekolahnya. Awalnya Aku sedikit enggan, tetapi setelah melihat muka
memelas Muthia yang semakin lama semakin memprihatinkan :P, akhirnya Aku
mengiyakan.
Kembali ke Padang Panjang, seperti
memanggil-manggil memori lamaku saat berada di kota Serambi Mekkah ini,
terlebih air nya yang seperti air es. Kurang lebih 5 hari Aku menemani Muthia
dengan agenda shooting-nya, beberapa
spot yang menjadi lokasi shooting mulai
dari Balingka, Koto Tinggi, Ngarai Sianok-Bukit Tinggi, dan berakhir di Aie Angek-Padang
Panjang. Ohya, filmnya berjudul Senandung Cinta Aisyah, yang rencana akan di
launching 22 Februari mendatang di Bukit Tinggi.
Selesai agenda shooting, barulah Aku mengagendakan beberapa perjalanan sebelum Aku
kembali ke Jambi. Pertama Aku memutuskan untuk pergi ke Diniyyah Puteri,
almamater MTs-ku. Menginjakkan kaki kembali di Diniyyah Puteri seperti memasuki
lorong waktu yang disana Aku seolah dibawa kembali ke masa-masa MTs ku. Alhamdulillah,
disana Aku bisa bertemu dengan beberapa alumni yang mengabdi disana, dan malam
itu Aku dan Muthia menginap di rumah Corry (salah seorang teman MTs-ku), dan
disanalah kami menghabiskan malam menjelang-2015 bersama para kucing-kucing
cantik, dan cerita-cerita nostalgia :D.
1
Januari 2015
Aku dan Muthia memutuskan untuk
mengunjungi Harau. Dengan berbekal beberapa artikel dari internet, kami
memberanikan diri untuk menjajaki Harau. Setelah bersiap2, kami berangkat ba’da
zuhur dari asrama MAN Koto Baru menuju Bukit Tinggi, perjalanan sekitar 20
menit menggunakan angkot. Sesampainya di termianal aur kuning Bukit Tinggi,
kami mencari bis menuju Harau. Akhirnya kami temui bis jurusan pekanbaru, yang
melewati Harau (Payakumbuh) dengan perjalanan kurang lebih 1,5 jam.
Matahari sudah beranjak turun,
mungkin sudah sekitar jam 4 sore. Kami diturunkan tepat di depan pintu masuk
Harau. Dari sana kami harus menaiki becak motor (bentor) untuk menuju ke dalam.
Setelah menyepakati harga, akhirnya kami diantar ke dalam oleh Bapak Bentor. Aku
mengatakan bahwa kami akan menginap semalam di Harau, jadi Bapak bentor
menyarankan kami untuk terlebih dahulu mencari penginapan. Setelah melihat
beberapa penginapan, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di sebuah
penginapan ala-film Heidi, tepat di bawah salah satu air terjun.
Kami melanjutkan perjalanan dengan
bentor. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan pemandangan tebing-tebing
bebatuan yang menjulang tinggi (100-500 meter) dengan kemiringan hampir 90
derajat. Tampak dari kejauhan tebing-tebing ini tersusun dari batupasir merah
(seperti kata dosenku :D). Diantara tebing-tebing terlihat air terjun menuruni
cadas-cadas bebatuan ini dengan lembutnya, dan jika kita memandang kebawah, terhampar
sawah-sawah yang berwarna hijau, perpaduan warna yang sempurna, keindahan yang
membuat mulutku tak berhenti untuk berdecak kagum, EKSOTIS!!!.
 |
Tebing Harau dan Hamparan Sawah |
Ada 2 spot yang menarik di Harau, persimpangan
ke kiri menuju Sarasah (Air Terjun) Aka Barayun, dan ke kanan menuju Sarasah
Bunta. Kami memutuskan untuk terlebih dahulu mengunjungi Sarasah Aka Barayun. Sarasah
aka Barayun menyuguhkan pemandangan air terjun, yang dibawahnya terdapat kolam pemandian. Setelah
mengambil beberapa foto akhirnya kami berangkat menuju sarasah Bunta. Angin segar
terus mengelus wajah kami selama di bentor, Aku meminta Muthia untuk menghidupkan
lagu Minang (Rayola-Rindu di hati),
agar kami merasa benar-benar sedang pulang kampung :D.
 |
Sarasah Aka Barayun |
Sarasah Bunta menyuguhkan pemandangan yang
lebih alami, air terjun nya tampak sangat indah meyentuh cadas-cadas bebatuan
dibawahnya. Udaranya segar, dan tampak beberapa keluarga sedang menikmati suara
air terjun sambil duduk di bebatuan sekitar air terjun. Cukup lama kami,
mengelilingi Sarasah Bunta, beberapa tumbuhan menarik juga dijual disini
seperti paku Monyet. Muthia juga berkesempatan untuk berfoto dengan ular,
meskipun tidak berfoto berdua :P. Di sekitar sarasah bunta ini juga terdapat
area camping, yang dimanfaatkan pengunjung untuk mendirikan tenda-tenda
camping. Matahari sudah semakin turun, mendekati maghrib. Kami pun memutuskan
untuk kembali ke penginapan.
 |
Sarasah Bunta |
 |
Takut-takut-Mau :D |
Penginapan ini disusun atas dinding pelupuh
bambu, dan lantai papan, dengan model khas atap bagonjong minangkabau, terdapat
satu tempat tidur, dan kamar mandi dibelakangnya, cukup mewah, untuk harga yang
terbilang cukup murah (Rp. 100.000,-/malam). Malam itu, kami cepat beristirahat
mengingat besok masih akan mengelilingi Harau, dan kami harus pulang sebelum
zuhur.
 |
Homestay Ala-Heidi |
2 Januari
2015
Paginya kami sarapan nasi goreng di depan
penginapan. Muthia melirik tetangga sebelah homestay kami, yang merupakan
pasangan suami-istri bule, sudah cukup berumur. Dia mulai mengatakan
keinginannya untuk berbicara bahasa dengan tetangga kami. Aku jawab, habiskan
dulu nasinya. Belum selesai kami menghabiskan sarapan kami, ternyata bule itu
sudah dijemput oleh supirnya, dan bersiap-siap akan meninggalkan penginapan. Muthia
mulai gelisah, dan kembali membujukku untuk segera “say hi”, kepada mereka.
Akhirnya kutinggalkan juga sarapan yang belum
habis, dan kucoba memulai percapakan dengan supir dan bule wanita (Ibu
tetangga). Terjadilah percakapan singkat, rupanya mereka berasal dari Paris,
tapi sungguh Kami kesulitan untuk mengeja namanya, yang terdengar seperti Bouhevski ketika diucapkan. Dia menanyakan
beberapa pertanyaan kepadaku dan Muthia, satu kata yang terlontar dari mulutnya
yang membuat kami berdua tertawa adalah “I
think you twin”, bisanya Aku dan
Muthia terlihat kembar :D. Dia juga menanyakan jurusanku, Aku jelaskan, “learn about rocks, geology”. Dia menunjuk-nunjuk
tebing itu dengan surprise, sembari
menceritakan salah seorang temannya yang juga seorang geologist. Akhirnya perbincangan singkat antar tetangga, kami
akhiri dengan foto keluarga :D (look like
family photo group, hehe).
 |
Foto Keluarga |
Selanjutnya setelah meneruskan sarapan yang
tertunda, Kami pun meninggalkan penginapan untuk berkeliling ke beberapa spot
yang belum sempat terjelajahi kemarin, Lembah ECHO. Untuk menuju lembah Echo,
kami cukup berjalan kaki dari penginapan. Satu hal yang paling kusuka adalah
langitnya begitu indah hari itu, bersih, biru dan sangat cantik jika
disandingkan dengan tebing-tebing Harau. Jadi jangan salahkan Aku, kalau
perjalanan menuju lembah Echo menjadi sangat lama (±40 menit), karena Aku tak
tahan untuk menjepret hampir semua spot yang terlihat sangat indah....Masha
Allah.
 |
Harau dan Blue Sky |
Akhirnya sampai jugalah kami ke Lembah Echo. Echo berasal dari bahasa Inggris yang
artinya “gema”. Menurut beberapa artikel yang kubaca, jika kita berteriak
disini, maka suara kita akan bergema. Kami penasaran, dan ingin mencobanya. Beruntunglah
hari masih pagi, jadi suasan disini masih terbilang sepi, jadi gak begitu malu
untuk teriak-teriak disini.
 |
Lembah Echo |
“ H A R A U....” teriak kami bersamaan, tak
lama terdengar gemanya di tebing bagian belakang, dengan volume yang lebih
rendah, kami tertawa bersama. Konon ceritanya nama Harau ini juga berasal dari
bahasa minang Parau yang artinya suara serak (mungkin karena sering teriak
disini kali yak :D). Penyebutan dengan suara penduduk yang parau didengar menjadi
“orau”, yang lantas berubah menjadi “arau”. Lama kelamaan penyebutannya menjadi
“harau”. Dari beberapa sumber di internet juga, Aku temukan bahwa menurut hasil
survey tim geologi asal Jerman pada 1980 menyimpulkan jenis batuan yang
ditemukan di kawasan ini identik dengan yang ditemukan di dasar laut berupa
batuan breksi dan konglomerat. Menurut legenda setempat, di sekitar cagar alam
lembah harau dulunya adalah laut. Adapun bebatuan yang berwarna merah menurut
milis iagi disebabkan oleh proses oksidasi yang sangat intensif, sebagai
indikasi terjadinya uplift tektonik pada periode (neogen akhir-resen).

Lembah Echo
menjadi destinasi terakhir kami di Harau. Matahari mulai meninggi, akhirnya
kami memutuskan untuk pulang. Rasa enggan untuk meninggalkan Harau dengan ke
eksotisan nya, membuatku bertekad untuk kembali kesini suatu saat nanti. Mungkin
Aku sudah jatuh cinta dengan HARAU, terlebih dengan penciptanya...
Alhamdulillah...Great Thanks to Allah.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fusshilat :53).