Senin, 11 April 2016

Clockwise South-Sulawesi

Perjalanan selalu menyisakan cerita…
Cerita selalu indah untuk dibagi…
Akan tetap indah jika kita memilih untuk menyimpannya sebagai kenangan...
Aku memilih untuk berbagi, karena bagiku menuliskan kisah perjalanan seperti berbagi kebahagiaan dan hikmah…

Akan kukisahkan kepadamu tentang perjalanan satu pekan di Pulau nan unik bentukannya, yang memiliki keunikan proses geologi, Negeri Daeng…

Preparation
“Terkadang orang yang paling mengkhawatirkanmu adalah orang yang paling menyayangimu…”

Beberapa hari ini Ibu teramat rajin menghubungiku, mulai dari mendiskusikan jurusan kuliah Muthia, pesantren Muthia, hingga menanyakan segala hal terkait kepergianku ke Makassar. Aku tau ibu khawatir, setiap kali Aku ada agenda kuliah lapangan Ibu selalu begini. Beberapa kali beliau menanyakan terkait kuliah lapangan, “apa aja yang dikerjakan di lapangan?”, “perginya sama siapa aja?”, hingga memberikan beberapa wejangan yang lumayan panjang. Terkadang tercetus juga pembicaraan dari Ibu yang mengatakan “seharusnya Aku jangan masuk geologi”, Aku hanya menjawab santai sambil sedikit tertawa “asyik kok bu di geologi, sering jalan-jalan”…

Tak bisa dipungkiri, ibu memang agak sedikit cerewet kalau terkait hal-hal begini, mungkin itulah ungkapan sayang seorang Ibu pada anak perempuannya. Ibu juga sering mengatakan kepadaku “Nanti kalau sudah punya anak, akan faham sendiri gimana kalau di posisi Ibu”. Aku sedari dulu memang agak ngeyel, sering memohon-mohon untuk diizinkan pergi kemana-mana, pengen ikut lomba ini-itu di daerah sini, ikut acara ini-itu di daerah sana. Saat itu saja sudah susah memohon izin pada Ibu, padahal agendanya rata-rata hanya di ruangan plus agenda jalan-jalan cantik. Apa kabar dengan ini? agendanya full lapangan, gimana Ibu nggak heboh?...

Terlepas dari semua kekhawatiran itu, Ibu memberiku izin dengan lapang. Aku menyiapkan segala hal terkait kebutuhan di lapangan. Mulai dari perlengkapan lapangan hingga perlengkapan pribadi. Semua terasa cepat, hingga tibalah hari keberangkatan itu.

H-1 (21 Maret 2016)
“Selalu ada tangan-tangan yang tak terlihat, ia bernama ketulusan…”

Agenda ekskursi ke Makassar ini hampir menjadi wacana, jika ingat proses perjuangan panjang dan berliku memperjuangkan proposal ke Chevron. Teman-teman panitia dan para dosen berjuang keras untuk ini, Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan kepada kami untuk belajar di Negeri Daeng. Banyak tangan-tangan yang tak terlihat yang telah membantu memperjuangkan ekskursi ini, kuberi nama ia ketulusan-terima kasih Great Team Panitia Ekskursi SULSEL 2016, Para Dosen, dan Chevron.

Ekskursi Geologi Regional merupakan satu mata kuliah wajib dengan bobot 2 SKS yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa Magister Teknik Geologi ITB. Kami mahasiswa Teknik Geologi 2014 mendapatkan kesempatan untuk menjalani mata kuliah ini di Negeri Daeng-Sulawesi Selatan.

Hari ini adalah hari keberangkatan kami. Panitia telah mengingatkan untuk berkumpul di gerbang utama kampus jam 2 siang, dengan agenda mengumpulkan koper dan foto bersama. Setelah zuhur, Aku dan Norma turun dari kosan, mulai menarik koper sepanjang lorong Titiran Dalam, suara roda koper cukup membuat keributan sepanjang lorong :D. Cuaca mulai mendung, saat kami menaiki angkot gerimis turun. Ketika sampai di depan gerbang utama, gerimis semakin deras. Kami bersegera menuju gerbang utama untuk mengumpulkan koper, disana telah menanti beberapa teman panitia. Usai mengumpulkan koper, kami menemui salah seorang adik tingkat untuk meminjam lupnya. Agenda foto-foto baru dimulai pukul 15.30, setelah sebelumnya dibagikan peralatan dan baju lapangan oleh panitia.

22.00
Aku, Norma dan Ageng berangkat dari kosan menuju tempat penantian angkot. Beberapa angkot telah berlalu, namun belum ada 1 angkot-pun yang di hati :D (baca: belum ada 1 angkot pun yang sesuai dengan tujuan kami). Kami mulai berinisiatif untuk memesan taxi, belum selesai berdiskusi, Alhamdulillah angkot yang kami tunggu akhirnya datang juga. Bapak angkot berbaik hati mengantarkan kami hingga mendekati Kubus ITB, titik kumpul yang disepakati, Alhamdulillah…
Kami berangkat dari ITB jam 23.00 menggunakan bis menuju Bandara Soeta…

Day 1 (22 Maret 2016)
“Kita tak hidup dengan kenangan, tapi kita dan kenangan adalah 2 hal yang tak terpisahkan…”

03.00
Bis yang kami tumpangi dari ITB mendecit, tak lama kemudian berhenti. Aku yang masih setengah sadar dengan segera memperhatikan daerah sekitar, Bandara Soeta. Tanpa dikomando para penghuni bis membereskan barangnya masing-masing lalu bersegera turun. Berombongan memasuki bagian ruang tunggu bandara, panitia membagikan snack tengah malam dan air minum, kami makan dalam diam “antara ngantuk dan lapar” :D.
Waiting...
Di ruang tunggu bandara, teman-teman mengambil posisi PW masing-masing, ada yang mulai tidur, ada juga yang masih asyik bercerita dalam forum-forum kecil. Koper kami telah dibawa oleh EO (event organizer) untuk check in. Aku dan beberapa teman cewek memilih untuk beristirahat di musholla. Belum 30 menit kami berada di musholla, kami sudah diminta berkumpul kembali di ruang tunggu untuk foto bersama dan check in.

05.00
Kami berangkat menuju Makassar dengan menaiki maskapai Garuda Indonesia, 46 orang cukup membuat heboh pesawat. Setelah agenda tukar menukar tempat duduk, akhirnya Aku, Norma dan Ageng bisa duduk bertiga. Kami menikmati perjalanan ini, meskipun dengan tubuh yang masih terasa letih dan mengantuk, beberapa teman ada yang memilih langsung tidur, ada yang memilih membaca guidebook ekskursi, dan Aku memilih menonton film “Surga yang Tak Dirindukan” :’(.

 08.00 (WITA)
Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 2 jam. Kami sampai jam 8 pagi di Makassar. Kedatangan kami telah ditunggu oleh para dosen yang telah tiba terlebih dahulu di Makassar. Kami berangkat dengan 3 bis pariwisata, kelompok 1 – 4 berada di bis 1, kelompok 5 – 7 berada di bis 2, dan kelompok 8 – 10 berada di bis 3. Aku termasuk dalam kelompok 4 – bis 1. Di bis 1 ada 3 orang dosen, Pak Mino, Pak Eddy dan Pak Yan.

Terik mentari kota Makassar terasa menyengat, semuanya belum ada yang mandi, gerah. Alhamdulillah, ketika memasuki bis yang ber-AC sedikit terkurangi rasa gerah, Aku duduk bersebelahan dengan Mbak Ditta. Kami menuju singkapan pertama yang termasuk dalam Formasi Mallawa, perjalanan ditempuh kurang lebih 2 jam dari bandara. Sepanjang perjalanan kami melewati singkapan-singkapan batugamping yang menurut penjelasan dosen termasuk dalam Formasi Tonasa. Kami juga melewati singkapan-singkapan batuan vulkanik yang termasuk Formasi Camba, tanah yang subur merupakan salah satu penciri daerah ini, sawah-sawah yang menghijau dihiasi dengan kehadiran rumah panggung khas Sulsel memperindah pemandangan, MashaAllah.
Formasi Malawa
Formasi Mallawa terletak di Desa Mallawa, singkapan yang kami kunjungi terdiri dari perlapisan batupasir kuarsa, batugamping Nummulithes sebagai keybed, serta serpih (shale) dengan sisipan karbon. Fosil Nummulithes yang ditemukan sebagai penanda umur lapisan ini (diperkirakan Eosen), begitulah salah satu cara geologist menentukan umur suatu batuan. Sederhananya, kita harus mengenali hewan yang pernah hidup beribu hingga berjuta tahun yang lalu pada batuan yang tersingkap tersebut (yang sekarang telah menjadi fosil), setelah kita kenali, kita bisa memperkirakan hewan tersebut hidup pada zaman apa? Dan itu artinya batuan ini diendapkan di zaman tersebut.
Sejenis ilmu meramal-kah?
Bukan, kurasa ini lebih mendekati detektif, karena kita harus punya bukti…

13.30
Kami makan siang di RM. Family, menu makanan khas Makassar disuguhkan, hal ini membuatku flashback ke kenangan tahun 2011 lalu mengunjungi kota ini. Waktu itu, kami tim MTQ dari Univ. Jambi sangat bersemangat ingin mencicipi menu khas kota ini, Coto Makassar, baru 1 suap kami memakan menu khas kota ini, kami saling pandang, dan kompak berkata kalau kami lebih memilih Indomie (maklum lidah Sumatera, apa lidah anak kost :D). Hari ini saat Aku berada di depan hidangan ini, fikiranku melayang pada tahun 2011, Aku tersenyum sendiri, kuambil makanan sekedarnya, semoga Aku tak memilih Indomie, hatiku membatin. Rasa lapar dan lelah akibat perjalanan jauh membuat lidahku tidak begitu sensitif dengan rasa makanan disini, meskipun tidak begitu lahap, tapi berhasil habis, Alhamdulillah.

14.30
Kami bergerak menuju stopsite berikutnya, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Aaah, Aku kembali terjebak dalam kenangan, tahun 2011. Kami Tim PIMNAS Univ. Jambi mengunjungi objek wisata ini, dengan tujuan jalan-jalan, menikmati wisata kupu-kupu, dan tebing-tebing bebatuan. Waktu itu, Aku tidak peduli dengan batu, kami berfoto dengan suka-cita diantara tebing-tebing bebatuan, hanya karena 1 alasan #keindahan. Dan hari ini, Aku kembali kesini, dengan tujuan yang sama sekali berbeda, mempelajari bebatuan pada objek wisata ini. Kami memasuki pintu masuk objek wisata, Pak Budi mulai menjelaskan bahwa daerah ini termasuk dalam Formasi Tonasa, dengan geomorfologi karst tipe menara (tower karst), diperkirakan ketinggian maksimun mencapai 500 m. Menara-menara karst ini serupa dengan karst yang ada di Guangzhou-China. 

Pengamatan dilanjutkan ke Gua Batu, perjalanan lumayan melelahkan karena kami harus melewati anak-anak tangga yang “lumayan jumlahnya”. Akhirnya kami tiba juga di Gua Batu, disana dijelaskan mengenai hasil pelarutan batugamping berupa bentukan stalagtit (atas) dan stalagmit (bawah). Bentukan ini memperindah pemandangan gua.

17.00
Leang-leang merupakan stopsite ketiga hari ini. Sepanjang perjalanan menuju Leang-leang, Aku takjub dengan keindahan pemandangan menara-menara karst dan hijaunya sawah, tak heran jika pegunungan karst di daerah Maros ini diakui sebagai kawasan karst terbesar kedua di Dunia setelah Guangzhou-China, MashaAllah indah nian alamMu J. Memasuki Leang-leang, pemandangan semakin unik dengan bebatuan-bebatuan yang terkesan berserakan di atas rerumputan yang hijau. Tanpa dikomando, kami segera mengabadikan momen dengan cara masing-masing :D. Daerah ini masih termasuk dalam Formasi Tonasa. Disini terdapat jejak kehidupan purbakala berupa jejak tangan di dinding-dinding gua.

19.00
Kami tiba di penginapan-M Regency Hotel Makassar. Setelah agenda makan malam, kami bersegera menuju kamar masing-masing. Aku sekamar dengan Norma, baru saja memasuki kamar, hal pertama yang Aku bayangkan adalah tidur, tapi bayangan itu segera kutepis mengingat kami harus kembali berkumpul di ruang pertemuan untuk kuliah malam dan membuat laporan….#oh laporaan.

21.00
Semua peserta berkumpul di ruang pertemuan, Aku duduk bersama teman sekelompokku. Kami berlima 1 kelompok (Aku, Mas Taufik, Mas Indra, Aulia, dan Shodaq), mereka guru-guru hebat tempat Aku belajar. Norma juga ikut duduk bersamaku, salah satu anggota kelompokku bertanya,
Kita ber-enam ya?
Aku langsung ngeh,
Eh, nggak kok, Norma ada kelompoknya, jawabku.
Aku tahu persis Norma, dia belum nyaman untuk bergabung dengan kelompoknya, dia butuh waktu untuk bisa menyatu dengan orang-orang yang baru baginya.
Malam itu, kami mengerjakan laporan individu. Aku orang terakhir yang belum menyelesaikan laporan, akhirnya Aku berinisiatif melanjutkannya di kamar. Jam 01.30 selesai dan tidur, tidur terasa begitu berharga.

Day 2 (23 Maret 2016)
Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah kelas, dan setiap peristiwa adalah ilmu…-A’Deda

Sebelum menceritakan apa kegiatan kami pada hari kedua, Aku ingin memperkenalkan personil kelompok 4 terlebih dahulu, mereka guru-guru terbaik untukku:

  1. Mas Indra, abang yang baik hati, ahli foto-foto kece (fotografer), menguasai bidang bebatuan terlebih batuan beku. Saat Aku menemukan singkapan batuan beku, Aku sering mencari beliau yang biasanya sudah siap melihat batuan dengan lupnya #berguru. Oya, foto-foto di tulisan ini banyak mencantumkan hasil jepretan beliau (mohon iziin mas..hehe...).
  2. Mas Taufik, kadang dipanggil bang Topik, penuh semangat, humoris, menguasai sedimentologi, stratigrafi, struktur dan banyak lagi. Beliau yang paling sering Aku ikutin, meskipun Aku hanya sebagai asisten yang meneteskan HCl atau sebagai fotografer singkapan #asisten_yang_agak_cerewet_dan_suka_nanya_macem2 :D. Bukankah dengan mengikuti guru kita bisa kecipratan ilmunya? :D #berguru.
  3. Aulia, biasa dipanggil Aul, dari penampakan luarnya sih serius, tapi ternyata menjadi orang yang paling sering bikin #ketawa-guling-guling, ada beberapa kasus yang menimpanya bikin ketawa gak putus-putus #maszuriseffect sampai dia bergelar Aul the Tap-Tap. Punya kebiasaan ngomong “huufft” dengan aksen ala-ala-nya :D. Dari Aul Aku belajar, ngerjain laporan malam itu butuh tertawa :D #berguru.
  4. Shodaq, terkadang juga dipanggil MasMus, termasuk salah satu orang yang ter-bully oleh maszuris disamping Aul, kalau di lapangan sering explore sendiri, tapi terkadang penemuannya di lapangan menjadi data berharga di kelompok kami #berguru.
  5. Norma, anggota kelompok tambahan #penyusuup :D. Temen foto ala-ala, emak-emak super penuh pencitraan, kadang dibilang kembaran, sering jadi tersangka orang Sumatera padahal Sulawesi tulen :P, anti keju dan susu, selama ekskursi sering #ngobat (yang jenisnya antimo :D), temen curhat, wkwk,, pokoke Partner in Crime-lah #berguru.

Setiap orang adalah gurudan mereka adalah guru bagiku…
(*mohon maaf untuk deskripsi yang agak lebay :D)

07.45
Setelah sarapan pagi dengan menu yang beraneka-ragam, kami meninggalkan M-Regency menuju singkapan Bantimala Complex. Jalanan di dalam kota macet, Aku mencoba menikmati perjalanan, walaupun seluruh persendianku mulai terasa sakit #ini baru hari ke-2.

Keluar dari keramaian kota, kami disuguhi pemandangan menara-menara karst yang membentang, sawah-sawah yang sedang menghijau mempercantik lukisan alam ini. Di sepanjang perjalanan truk-truk pabrik marble lalu lalang menandakan kalau tak jauh dari sini terdapat pabrik marble.

10.15
Akhirnya kami sampai juga di stopsite pertama, setelah sebelumnya sempat salah jalur yang berakibat keterlambatan waktu hingga satu jam. Lokasi pertama terletak di daerah Bantimala. Batuan khas yang terdapat di daerah ini adalah perlapisan rijang (dominan), batugamping merah dan sisipan batupasir. Rijang dan batugamping merah merupakan sedimen laut dalam. Singkapan ini termasuk ke dalam complex melange Bantimala, batuan ini sebagai batuan dasar yang mendasari cekungan Sulsel.

11.30
Dari Bantimala kami menuju ke daerah Siloro, disini kami menemukan perlapisan batupasir dan batulempung (Formasi Mallawa). Pada singkapan ini ditemukan intrusi batuan beku yang menerobos Formasi Mallawa (granit?/syenit?) #jawabannya-kita-temukan-di-hari-presentasi. Tujuan selanjutnya, Pabrik Marble.

13.20
Marble Factory yang bernama PT. Dayo Cayo, penampakan dari luarnya terlihat tidak begitu luas. Setelah dipersilahkan masuk, salah seorang pekerja pabrik mengantarkan kami ke bagian dalam pabrik, ternyata pabrik ini cukup luas. Di sepanjang jalan terlihat potongan-potongan batugamping berbentuk kotak yang siap dipotong menjadi marmer, beberapa marmer yang telah dipotong siap untuk diangkut. Di pemberhentian terakhir, terlihat crane yang digunakan untuk mengangkut batugamping terletak di tengah-tengah lapangan, di sekelilingnya menara-menara karst masih tegak berdiri (#entah untuk berapa lama lagi?). Singkapan ini masih termasuk dalam Formasi Tonasa dengan ciri khas bentukan karst tipe menara, pada potongan-potongan marmer yang berserakan kami mendeskripsi, terdapat batugamping dengan fosil Numulithes dan ganggang. Berdasarkan penjelasan pekerja pabrik, produksi marmer disini sekitar 700 kubik/bulan, terdapat 12 motif marmer yang diproduksi, motif terbaik C1 (motifnya marmernya alami dari fosil :D), adapun peralatan yang digunakan untuk memotong batugamping menggunakan wire (kawat). Agenda ditutup dengan penyerahan oleh-oleh Brownies Amanda dan foto bersama. Bis beranjak menuju RM. Raja Muda untuk makan siang.

16.50
Setelah agenda makan siang di RM. Raja Muda kami bertolak menuju daerah Barru. Singkapan yang ditemui berupa batuan beku (plagiogranit?), yang merupakan anggota dari ofiolit. Menurut dosen petrologi, kompleks ofiolit merupakan nama himpunan batuan yang co-genetic (berasal dari 1 genesis magma). Kehadiran ofiolit mewakili oceanic material, ofiolit sering juga disebut sebagai fosil dari subduksi.

19.00
Kami mendarat di Hotel Delima Sari-Parepare (Selamat Datang di Kampung Pak Habibi J). Agendanya seperti biasa, meletakkan barang, bersih-bersih, ngumpul di ruang pertemuan, mengerjakan laporan harian, tidur jam 02.00.
Waktunyaa laporaaan -_-
 Day 3 (24 Maret 2016)
Geologi itu dari hal yang sangat LUAS hingga yang sangat DETAIL…

07.30
Kami meninggalkan Delima Sari-Pare-Pare menuju Pantai Dutungan. Kota Pare-Pare, termasuk daerah yang baru berkembang, beberapa infrastruktur terlihat masih dalam masa pembangunan, desain kotanya unik, di sisi kanan terlihat hamparan hijau sawah, di sisi kiri pantai terbentang, alamnya indah, MashaAllah.

Di bis 1, tiba-tiba terdengar suara Pak Eddy memecah suasana bis yang mulai hening-hampir tertidur.
“Laporan selama 2 hari ini dikumpulkan yaa”…kata beliau.
Suasana yang awalnya hening langsung pecah dengan suara kertas, yah…empat kelompok yang berada di bis itu sibuk membereskan kertas masing-masing, sebagian ada yang masih menulis-menambahkan isi laporan. Kelompokku sepertinya sudah pasrah, tidak berniat menambahkan isi laporan, setelah ku-hekter langsung kuserahkan laporan kelompokku kepada Pak Eddy.

Setelah semua kelompok mengumpulkan laporan, ternyata laporan tersebut langsung dikoreksi oleh para dosen yang berada di bis itu. Suasana kembali hening, hanya terdengar obrolan para dosen yang sibuk mengomentari laporan kami, terkadang mereka menertawakan laporan kami yang katanya “suka membuat sketsa non-geologi”, terlalu berjiwa “reporter”, dan masih banyak lagi, Aku yang duduk tepat di belakang salah seorang dosen, ikut senyum-senyum sendiri mendengarnya.

08.30
Semakin mendekati Pantai Dutungan, jalan semakin menyempit, kanan-kiri jalan dipenuhi kerimbunan pohon mangga, jenis rumah panggung khas Sulsel mendominasi perumahan penduduk. Tepat pukul 08.30, akhirnya kami sampai di Pantai Dutungan.
Hembusan angin pantai menyambut langkah kaki kami memasuki Pantai Dutungan. Aku dan Norma segera mengikuti Mas Taufik dengan misi berguru. Hal yang pertama kali kami perhatikan adalah keseluruhan dari singkapan (hal yang LUAS) selanjutnya digambarlah sketsa singkapan, Aku mengambil beberapa jepret foto singkapan. Setelah itu kami melihat lapisan batuan di singkapan ini lapis-demi-lapis, mulai dari jenis litologinya, struktur sedimennya, kontak antar lapisan, porositas, sortasi, kemas antar butir, hingga mengecek apakah batuan ini karbonatan atau tidak (pengecekan dilakukan dengan meneteskan HCl), satu hal yang tak boleh dilupakan adalah mengukur kedudukan lapisan batuan dengan kompas (DETAIL sekaliii bukaan?). Mas Taufik mendeskripsikan segala sesuatunya dengan sangat cepat!, sesekali Aku masih sibuk menanyakan beberapa hal yang membingungkan bagiku, jenis struktur sedimen, fragmen yang mengambang (floating) dan banyak lagi. Tapi sungguh, geologi itu memang tergantung jam terbang teman, dan Aku yakin guruku yang satu ini jam terbangnya sudah tinggi.


Akhirnya kami menyimpulkan, singkapan ini berupa perlapisan batupasir, batulempung, dan konglomerat, terdapat struktur slump, paralel laminasi, ripple cross stratification dan convolute pada perlapisan batupasir-batulempung. Singkapan ini termasuk dalam Formasi Pare-pare. Keterdapatan struktur sedimen yang khas pada singkapan ini, mengindikasikan endapan turbidit.

09.30
Rombongan beranjak menuju Enrekang. Sejak awal memasuki bis, suasana sudah riuh oleh suara gelak-tawa, terbawa penasaran Aku-pun ikut menyimak pembicaraan Mas Zuris, eh, ternyata Aul ditertawakan Mas Zuris karena gak sengaja menginjak benda “terlarang” di Pantai Dutungan. Kata teman-teman, Aul gak salah kok, yang salah saat dia menginjak “sesuatu” itu ada Mas Zuris, dan kalau sudah mendengar Mas Zuris menceritakan ulang kejadian tersebut, jadi bertambah “lucu” saja. Nah, itulah awal dari gelar #AultheTap-Tap :D.

Aku tidak ingat kapan berhentinya kehebohan di bis gara-gara #kasusAul, yang jelas sekarang suasana bis sudah kembali hening, sebagian besar penghuninya sudah mulai tertidur, sepertinya rata-rata menganut prinsip hotel adalah tempat begadang mengerjakan laporan, dan bis adalah tempat tidur dan istirahat. Aku masih memperhatikan jalanan, bis mulai memasuki daerah Enrekang, disisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon rambutan yang sedang berbuah-kemerahan.

12.00
Bis berhenti, Aku terjaga dari tidur, ternyata kami berhenti di depan Kantor Bupati Enrekang. Di sisi lain jalan raya terlihat adanya pembangunan kantor, tertulis besar merek GADIS, yang terakhir baru Aku tahu, bahwa GADIS itu singkatan dari “Gabungan Dinas”, masyarakat disini sepertinya hobi membuat singkatan. Kami semua turun, hujan rintik-rintik menyambut kami, para dosen melihat singkapan yang berada di dekat pembangunan kantor yang bermerk GADIS. Setelah diobservasi ternyata singkapan ini tidak ada harapan untuk diamati, kamipun segera menaiki bis untuk mencari singkapan lain.

Tak jauh dari singkapan tadi, kami berhenti di singkapan lain yang terletak di sisi jalan raya. Singkapan berupa konglomerat dengan ukuran fragmen yang sangat bervariasi dari 1 cm-1 m, tidak kompak, kemas terbuka, pemilahan buruk, terdapat imbrikasi (orientasi butir), fragmen terdiri dari batugamping, rijang, batuan beku, sekis, serta berupa batuan campuran lain, matriks berupa lempung. Endapan ini diinterpretasikan sebagai endapan mollase. Mollase disebut juga endapan syn-orogenic (sedimen yang diendapkan setelah proses orogenic/pembentukan pegunungan) atau biasa juga disebut endapan pasca benturan/collision. Endapan mollase umumnya memiliki ciri-ciri tertentu, pemilahan besar butirnya buruk, sedimennya banyak terdiri dari lempung dan fragmen batuan, dan belum cukup terkonsolidasi (tidak kompak). Jika dikaitkan dengan tektonik Sulsel, mollase diendapkan terkait dengan peristiwa tektonik akhir pliosen-kuarter (pensesaran blok, perlipatan, dan pengangkatan sebagian besar Sulsel), singkapan ini dimasukkan dalam Formasi Walanae.

13.00
Bis terus berjalan ke arah utara memasuki daerah Bambapuang. Tak lama kemudian berhenti di tepi jalan Enrekang-Toraja. Singkapan termasuk dalam Enrekang Volcanic Series, terlihat perselingan tipis antara batulempung dan batulanau dengan sisipan batupasir yang terlipat dan tersesarkan.

15.00
Bis berhenti di sebuah rumah makan, JEMZ namanya. Kami segera keluar dari bis dengan semangat, ada dua faktor penyebabnya, yang pertama faktor lapar yang kedua di depan kami ada pemandangan indah perbukitan triangular facet. Secara pribadi, Aku termasuk orang yang bersemangat karena faktor kedua, perbukitan ini benar-benar indah, mahakarya pahatan sang Pencipta, mashaAllah, lukisan alam!.

Setelah mengambil makanan di bawah, Aku bersegera mengajak Norma ke lantai atas rumah makan, misi kami mencari moment dan geofotografi :D. Pemandangan di atas benar-benar membuat kami tak menghiraukan nasi, Cantik! Asli!. Alhasil yang kami lakukan di atas benar-benar foto-foto sambil makan.

Masyarakat setempat menamai perbukitan ini dengan sebutan bukit Nona, sebagian lagi menamainya dengan sebutan erotic mountain, adapun menurut ilmu geologi perbukitan ini bernama triangular facet. Pak Budi menjelaskan tentang proses terjadinya morfologi perbukitan ini, menurut beliau triangular facet mengindikasikan adanya proses sesar, lalu terjadi proses erosi pada tebing patahan atau biasa disebut gawir, setelah erosi terjadi gawir akan mulai terkikis dan membentuk alur yang membelah gawir menjadi bagian-bagian, setelah erosi lanjutan, maka akan terlihat bentukan-bentukan seperti segitiga (triangular facet). Ada rule of thumb didunia geologi: Semakin indah alam suatu wilayah, maka semakin dinamis dan dahsyat proses geologi yang telah dan sedang terjadi diwilayah tersebut.

16.00
Stopsite selanjutnya di daerah Cakke-Enrekang, singkapannya berupa blok batugamping yang dulunya digunakan masyarakat sebagai tempat pemakaman masyarakat Toraja Purba (sebelum Islam). Singkapan merupakan bagian dari Formasi Makale (lebih muda dari Formasi Tonasa). Di tengah-tengahnya terlihat kuburan masyarakat Toraja Purba berbentuk perahu-perahu yang berjajar. Bentukan perahu ini dibuat karena mereka meyakini perahu sebagai wahana untuk menghantarkan orang yang telah meninggal, sebagaimana leluhur mereka dahulu datang dari Sungai Sadang dengan menggunakan perahu.


17.30
Kami berhenti di pintu gerbang Tana Toraja, disana adalah singkapan terakhir kami hari ini. Singkapan berupa batugamping coquina (banyak terdapat fosil moluska, gastropoda, dll) kontak dengan batulempung-batupasir. Diinterpretasikan ini merupakan kontak Formasi Makale dan Formasi Toraja.

19.30
Kami sampai di Toraja Missiliana Hotel, awal kedatangan disambut dengan tabuhan suara gendang di bagian lobby hotel, selanjutnya kami dihidangkan makanan khas Toraja, unik!. Selesai makan, kami menuju kamar masing-masing, konsep kamarnya beda, seperti rumah-yang di depannya ada beranda, dan antar kamar sebelah-seperti tetangga rumah (mulailah bermain tetangga-tetanggaan dengan Friska dan Ageng :D).
“Hai tetanggaa…”teriak Mak Oma
“Haai tetanggaa…”disahut oleh Ageng dan Friska dari sebelah.
#duuh…emak-emak inii….
Malamnya seperti biasa kami mengerjakan laporan kelompok dan individu, hingga jam 3 pagi.

Day 4 (25 Maret 2016)
Kearifan lokal, pesona Indonesia yang memukau!...

08.30
Konsep hotel Toraja Missiliana benar-benar mengedepankan kearifan lokal Toraja, hampir di setiap sisi dijumpai rumah Tongkonan (rumah adat Toraja). Inilah yang membuat hotel ini terasa unik dan berbeda. Kami segera ambil posisi mengabadikan momen dengan latar belakang Tongkonan. Tongkonan adalah rumah adat Toraja dengan ciri rumah panggung dari kayu, kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap Tongkonan dilapisi ijuk hitam dengan bentuk sekilas mirip tanduk kerbau seperti rumah adat Minang dan Batak. Menurut warga setempat yang sempat kuwawancarai, fungsi dari Tongkonan ini adalah untuk pelaksanaan upacara adat seperti upacara pernikahan dan kematian. Di bagian depan Tongkonan biasanya terdapat ornamen tanduk kerbau, jumlah tanduk kerbau ini melambangkan kemampuan ekonomi sang pemiliknya saat upacara kematian keluarganya.

09.00
Berangkat dari hotel kami menuju daerah Pongtiku. Singkapan berupa granit, terdapat xenolith yang berwarna gelap dipotong urat-urat kuarsa dan terdapat kekar. Xenolith merupakan struktur yang memperlihatkan adanya fragmen batuan lain (batuan asing) yang tertanam dalam batuan beku, struktur ini terbentuk akibat peleburan tidak sempurna dari batuan samping di dalam magma yang menerobos. Menurut penjelasan dosen granit ini berumur 9 juta tahun yang lalu (pasca collision).
Granit

 Tak jauh dari singkapan pertama, kami menemukan singkapan kedua berupa singkapan batusabak (slate). Batusabak berwarna abu-abu gelap, memperlihatkan foliasi, untuk mengukur foliasi prinsipnya sama seperti mengukur bidang perlapisan. Batusabak merupakan batuan metamorf dari batuan asal shale, termasuk dalam batuan metamorf foliasi. Foliasi diartikan sebagai penglihatan berlapis atau berlembar pada permukaan batuan akibat orientasi kesejajaran mineral penyusun batuannya.
Slate

10.00
Stopsite selanjutnya berada di daerah Kaleakan. Singkapan berupa batulempung, berwarna merah, menyerpih, terdapat klorit. Keterdapatan klorit di dalam batulempung menandakan batulempung tersebut telah mengalami metamorfosisme derajat rendah. Berdasarkan studi terdahulu, batuan ini termasuk Formasi Latimojong.
Batulempung merah

11.30
Waktunya shalat Jum’at untuk para cowok, mencari masjid di daerah Toraja tak semudah daerah Makassar, akhirnya diputuskanlah untuk shalat di Masjid yang terletak di Pasar Rantepao. Saat para cowok shalat, para ibu-ibu pun berburu oleh-oleh dan souvenir di Pasar. Usai shalat dan berbelanja, kami makan siang di ayam penyet RIA, lokasinya tepat berada tepat di bawah Rumah Doa.

14.30
Kami berangkat ke Lemo. Lemo merupakan salah satu tempat pemakaman masyarakat Toraja. Singkapan berupa lava, terdapat autobreccia di beberapa titik. Berdasarkan penjelasan Pak Kahar (dosen UNHAS) untuk menguburkan mayat disini dibutuhkan waktu 3 bulan menggali kuburnya, lebih tepatnya menggali batu, fantastis!. Selain tempat penyimpanan mayat yang terlihat seperti kotak-kotak, disini juga terdapat boneka-boneka yang disusun seperti mengucapkan “selamat datang” #eh. Namanya tau-tau, berdasarkan informasi yang Aku peroleh dari warga setempat, boneka ini dibuat persis seperti orang yang telah meninggal, hanya kaum bangsawan yang biasanya dibuatkan boneka tau-tau. Konon, penamaan masyarakat toraja berasal dari 2 kata “tau” yang berarti orang dan “maraya” yang berarti bangsawan. Jadi, kalau Aku artikan secara awam, boneka tau-tau bisa diartikan sebagai orang-orangan.

15.30
Kami menuju stopsite berikutnya, entah kenapa hari ini Aku merasa tidak seperti ekskursi geologi, tapi lebih kepada “ekskursi budaya”, mengenal budaya dan kearifan lokal masyarakat Tana Toraja dari dekat. Aku tahu Indonesia punya pesona sendiri dengan budayanya.

Londa nama tempat pemberhentian kami berikutnya, masih area pemakaman!. Kali ini agak sedikit berbeda dengan yang pertama, Londa lebih ramai oleh para wisatawan. Di bagian depan tebing batuannya terlihat banyak karangan bunga, ternyata itu adalah ucapan belasungkawa. Di mulut gua, kami mendengarkan penjelasan dosen, singkapan ini merupakan batugamping Formasi Makale, terlihat adanya bentukan berupa stalagtit dan stalagmit.Untuk mengamati lebih lanjut ke bagian dalam gua rombongan dibagi menjadi 2 kelompok, Aku ikut di kelompok ke 2 yang ternyata tanpa dosen.

Kami memasuki gua dengan penerangan 2 lampu petromax yang dibawa oleh warga setempat, pemandangan yang terlihat di dalam adalah tulang-belulang dan tengkorak manusia yang disusun pada bebatuan, berkali-kali Aku mencoba membayangkan, “tenang ini bukan tengkorak manusia beneran, ini hanya alat peraga yang dulu sering digunakan untuk belajar biologi di sekolah :”(“. Di sisi lain, tampak peti-peti jenazah bersusun, hanya diletakkan saja, pelan Aku mencoba mendekati salah seorang pembawa lampu,
Di dalam peti ini ada mayat?” tanyaku…
Iya, mayatnya diletakkan disini setelah diberi formalin, sampai menjadi tulang belulang”, jawabnya…
Ada perasaan sedih, merinding, dan penasaran bercampur aduk saat itu. Tapi jiwa reporter-ku membuat banyak pertanyaan di kepala, hingga terjadilah beberapa wawancara singkat dengan pembawa lampu tersebut. Ia bercerita, kalau dalam 1 tempat perkuburan hanya untuk tempat pemakaman 1 marga, semakin tinggi status sosial seseorang, maka tempat persemayamannnya akan semakin tinggi. Mengenai tulang belulang yang telah hancur, untuk menyusunnya kembali, harus melalui 1 upacara adat lagi, namanya Upacara Ma’nene biasanya dilaksanakan 4 tahun sekali. Iseng Aku bertanya dalam pelaksanaan upacara kematian berapa kerbau yang harus dikorbankan, ia menjawab 24 kerbau!, angka yang terbilang fantastis!, apakah orang disini hidup hanya untuk menyiapkan kematiannya? modal mati mahal.

17.00
Ke’te Kesu, itulah nama tempat pemberhentian selanjutnya. Disini banyak terdapat Tongkonan, ada juga yang sedang dibangun. Menurut penjelasan dosen, Tongkonan di sisi kiri (arah selatan) sebagai tempat hunian dan di sisi kanan (arah utara) digunakan sebagai lumbung padi. Berdasarkan literatur yang kubaca, Tongkonan itu atapnya selalu menghadap ke utara, karena leluhur mereka datangnya dari utara. Daerah ini, masih termasuk dalam batugamping Formasi Makale, dengan ciri membentuk bukit karst biasa, tidak seperti tower/menara.

18.00
Kami kembali ke hotel. Agenda selanjutnya seperti biasa mengerjakan laporan individu dan kelompok, entah jam berapa baru mendarat di kasur :D.

Day 5 (26 Maret 2016)
Apapun penyakitnya, obatnya hanya tiduuur…

08.00
Akhirnya kami harus meninggalkan Toraja, salah satu tempat di Indonesia yang masih menjaga kearifan lokalnya dengan baik, tak heran banyak wisatawan lokal dan mancanegara yang berkunjung kesini. Pagi itu, Aku masih menatap Tongkonan di area hotel, sebentar lagi kami akan melanjutkan perjalanan ke arah selatan, selamat tinggal Toraja, entah berapa tahun lagi Aku akan kembali kesini, atau mungkin ini kali pertama dan terakhir berkunjung kesini.

09.30
Stopsite pertama hari ini di tepi jalan raya, singkapan granit yang diperindah dengan air terjun (#deskripsi batu atau pemandangan sih??? :D). Pada granit ditemukan xenolith yang terorientasi, terdapat juga bentukan seperti kekar kolom yang menandakan intrusi.

11.30
Perjalanan yang cukup panjang dari stopsite pertama ke stopsite kedua, membuat seisi bis hening, tiduur. Sepertinya tadi malam banyak yang begadang hingga pagi, jadi rata-rata mengganti jam tidurnya dengan istirahat di bis. Rasanya saat ini, obat semua penyakit hanya tidurrr. Pemberhentian kedua membangunkan tidur panjang kami semua.


Batusitanduk, singkapan terletak di tepi sungai, termasuk dalam Formasi Lamasi. Batuan ini merupakan kelompok batuan volkanik yang terbentuk sekitar 150 juta tahun yang lalu, terlihat diabas dan basalt saling memotong, terdapat struktur boudin yang menandakan bahwa batuan ini telah mengalami peregangan dan penggembungan. Menurut salah satu dosen struktur, boudin merupakan salah satu istilah yang berasal dari bahasa Prancis “boudin” yang berarti sosis karena bentukannya seperti sosis.

12.30
Kami memasuki daerah Songka, disini tersingkap singkapan andesit basaltis, afanitik, amigdaloidal, terlihat seperti bentukan lava bantal?. Berdasarkan pentarikhan, umur batuan ini diperkirakan berusia 28-32 juta tahun yang lalu.

15.00
Makan siang di Rumah Makan Wija to Luwu, disini kami disuguhkan menu yang agak sedikit berbeda, sagu. Awalnya agak sedikit aneh Aku melihat menu ini, Aku mulai menebak-nebak kira-kira ini jenis sayur apa ya? lembek gini, akhirnya ku taruh sedikit di atas nasi. Sampai di meja Aku ditertawakan beberapa teman,
Mbak, itu kok sagunya dicampur nasi?” Ageng bertanya…
Lho, ini sagu yaa?” jawabku polos :D
“Iya neng, ini sagu yang sering diriku ceritain”, jawab Mak Oma dengan bahagia sambil nyemil sagu…
Oooh…ternyata ini saguu #kudet.
Setelah acara makan, dilanjutkan dengan nonton Prof. Emmy nyanyi :D.

17.00
Singkapan terakhir hari ini terletak di daerah Patirosompa. Pada singkapan ini dijumpai mollase, termasuk dalam Formasi Walanae.

19.00
Kami mendarat di Hotel Pondok Eka Sengkang. Malam ini kami mengerjakan laporan di ruang pertemuan, tapi ada yang sedikit berbeda, dosen memberi tahu bahwa inilah malam terakhir untuk menyiapkan bahan presentasi yang akan dipresentasikan besok malam, hectic!. Alhamdulillah, malam ini dibebaskan dari pembuatan laporan harian, jadi kami bisa fokus mengerjakan bahan presentasi. Setiap kelompok sibuk dengan kehebohannya masing-masing, mulai dari kesibukan mencari colokan, sibuk bagi-bagi tugas, pilah-pilih foto singkapan, hingga menganalisis event tektonik yang terjadi di daerah pengamatan kami. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi, dan ruangan ini masih saja ramai dengan kesibukan masing-masing, bahan presentasi belum selesai.

Aku lupa jam menunjukkan pukul berapa saat ini, tapi badan terasa sudah agak melayang-layang, bahan persentasi kelompokku baru 50%. Akhirnya kelompokku memutuskan untuk tidur, bergegas Aku balik ke kamar. Jujur, Aku merasa kasihan melihat kamar hotel ini, disewa mahal-mahal hanya untuk mandi dan tidur beberapa jam saja L. Tidur menjadi hal yang mahal.

Day 6 (27 Maret 2016)
Ketika Granit jauh lebih baik daripada Syenit…

07.40
Pagi ini Aku kesiangan, dan ku fikir bukan hanya Aku, hampir semua teman-teman juga kesiangan #efek begadang semalam. Setelah beres-beres barang, makan, lalu kami menuju bis, ternyata ada beberapa teman yang masih berada di hotel, jadi keberangkatan pagi ini agak ngaret dari jadwal yang direncanakan, hampir pukul 8 baru meninggalkan hotel. Dari cerita beberapa orang teman, ternyata semalam banyak kelompok yang tidak tidur semalaman, mereka selesai jam 5 pagi, pulang ke kamar tidak tidur, beres-beres, makan, lalu menuju bis untuk tidur #superb. Di bis beberapa teman merubah posisi tempak duduk, duduk bersama teman sekelompoknnya, agar bisa sambil mengerjakan slide presentasi. Hawa-hawa presentasi terasa semakin dekat!.

08.20
Wajah-wajah lelah dan kurang tidur memenuhi seisi bis. Beberapa terlihat sudah bersiap-siap mengatur posisi untuk tidur. Tapi sepertinya tidur belum menjadi hak kita saat ini temaan, belum terlalu jauh berjalan, bis berhenti, welcome singkapan pertama!.

Sengkang, singkapan pertama hari ini. Singkapan ini merupakan bagian dari Formasi Walanae. Batuan coklat kemerahan, bentuk butir membulat-membulat tanggung, ukuran fragmen 1-30 cm, matrik batupasir karbonatan, kemas terbuka, pemilahan buruk, matrik supported, terdapat urat yang berisi gypsum katanya :D (#repoter mode-on)

09.00
Sepanjang perjalanan menuju singkapan berikutnya, kami menemui antiklin di tepi jalan, serta pemandangan indah. Tapi sayang, mata sudah terlalu berat, beberapa teman mulai memejamkan mata. Belum lama berselang, bis kembali berhenti, stopsite berikutnya menanti!, tidur hanya angan-angan untuk saat ini temaan :D. 
Batugamping Formasi Tacipi

Stopsite kedua terletak di daerah Patirosompa, tebing Tacipi. Disini ditemukan batugamping bioklastik dengan kenampakan porositas vuggy dan moldic, ditemukan juga gas seepage dan jejak dead oil. Apabila kami memecahkan batugamping dengan palu, maka akan tercium bau seperti bau solar dari batuan tersebut, jejak hidrokarbon. Menurut penjelasan dosen, daerah ini merupakan tempat eksplorasi pertama dari Sengkang basin.

10.15
Masuk bis dan kembali bersiap-siap untuk tidur. Akan tetapi harapan itu kembali sirna, dosen mulai menunjuk-nunjuk singkapan di tepi jalan (singkapan baru). Akhirnya kami kembali berhenti, stopsite ketiga!. 

Berjalan beriringan kami keluar dari bis, dengan langkah terseok-seok #lebay, kalau Aku gambarkan sudah seperti pasukan zombie. Di depan kami terlihat singkapan serpih berwarna gelap, perlapisan batupasir dan batulempung,  terdapat banyak fosil moluska.

14.00
Dari singkapan ketiga menuju ke singkapan terakhir, Alhamdulillah kami memiliki jeda waktu yang lumayan panjang. Inilah waktu yang sangat berharga untuk tidur, para dosen-pun mempersilahkan kami untuk tidur.
Salah seorang dosen berkata kepada kami,
Wah segar-segar sekali wajah kalian yaa?” ini benar-benar majas ironi.
Ada juga yang berkata kepadaku,
Saya sudah kasihan sekali melihat wajah kamu” gubrak L.
Bis sudah hening, semuanya memanfaatkan waktu yang berharga ini untuk tiduuur.
Cukup lama kami terlelap, akhirnya sampailah kami di stopsite terakhir, Sungai Ningo. Disini ditemukan kontak antara Formasi Kalimaseng dengan Formasi Tacipi. Meski kontak langsung tidak terlihat, tetapi Formasi ini berada pada lokasi yang sangat berdekatan.

18.30
Perjalanan menuju ke Makassar dihabiskan dengan mengerjakan slide, termasuk kelompokku. Beberapa orang teman sudah menyerah mengerjakan slide di bis, mual katanya, apalagi jalan yang ditempuh berkelok-kelok. Alhasil, penyelesaian slide di bis tertunda.
Kerja Kelompok Kilat!

Kami tiba di M-Regency Hotel Makassar kembali. Setelah meletakkan koper di lobby, semua bergegas makan, dan langsung dilanjutkan dengan kerja kelompok, menuntaskan slide!. Jam 8 malam slide harus dikumpulkan dan dipresentasikan, countdown 1,5 hours.

20.00
Salah seorang dosen mendatangi meja kami, memberikan lot undian, nomor urut presentasi. Setelah tolak-menolak dengan teman satu kelompok, akhirnya Aku yang mengambil undian, 5-B urutan terakhir di ruangan B. Slide masih dirampungkan, siap-tak siap akhirnya kami menuju ruang presentasi dalam keadaan kucel dan belum mandi, tak ada yang peduli.

Presentasi kelompok pertama dimulai, cukup mulus, tapi ada salah seorang dosen yang memprotes mengenai nama batuan pada singkapan hari pertama #bukan syenit tapi granit, saya sudah mengoreksinya di lapangan, tambah dosen tersebut. Presentasi dilanjutkan dengan kelompok kedua, ternyata masih dengan masalah yang sama #syenit, kali ini sang dosen agak sedikit tersinggung, beliau berkata,
Jika masih ada yang menggunakan syenit setelah ini, saya tidak akan menilai” suasana di ruang presentasi mulai gaduh.
Dosen lain memberi kode, “Kelompok yang lain diganti yaa jangan pakai syenit
Kompak kelompok yang belum kebagian jatah presentasi utak-atik slide #demi-syenit :D.
Para Dosen Penguji

Akhirnya tibalah giliran kelompokku, ada beberapa koreksi terkait penggunaan istilah petorologi serta beberapa pertanyaan terkait event tektonik yang ditanyakan oleh penguji.
Fourth Group

24.00
Presentasi rampung, dilanjutkan foto bersama, dan makan duren, Alhamdulillah. Aku dan Norma pulang ke kamar, setelah sebelumnya mengambil koper di lobby. Akhirnya malam ini bisa tidur dengan agak tenang.

Day 7 (28 Maret 2016)
Setiap peristiwa pasti memiliki hikmah…
07.30
Ini hari kepulangan kami. Sebelum sarapan, dilakukan agenda foto bersama di depan hotel. Setelah sarapan pagi, Aku mengikuti kuliah Prof. Emmy yang diselenggarakan untuk mahasiswa UNHAS, judulnya mengenai Dasar-dasar Petrologi dan Aplikasinya.

09.40
Kami meninggalkan hotel, menuju salah satu toko oleh-oleh kota Makassar. Perjalanan dilanjutkan menuju salah satu kuliner khas Makassar, Coto Makassar. Lalu dilanjutkan ke tepian pantai losari dengan misi utama-foto-foto. Ada yang berbeda setelah agenda presentasi malam itu, sekarang foto-foto ada teriakan yang baru 1, 2, 3….syeniiiit :D, #bunciss udah gak jaman lagi.


14.00
Kami sampai di Bandara Sultan Hasanuddin, bersiap untuk kembali ke Bandung, berangkat menuju Jakarta pukul 16.00.
Alhamdulillah, sampai Bandung pukul 24.00.
-----------------------------------------------------------
Bagiku setiap perjalanan seperti mengumpulkan serpihan-serpihan hikmah…
Memungut dan merangkai serpihan hikmah yang terbentang di Alam-Mu…
Ataupun memperolehnya dari Makhluk-Mu…
Terkadang hikmah itu terserak, terdampar, tersirat, ataupun tersurat…
Semoga perjalanan ini memberikan hikmah terbaik…
Hikmah yang membawa kepada dzikr dan syukur :)
Aaamiin allahumma aaamiin…
-belajar dari alam-
Allahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik…”
Ya Allah bantulah Aku untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu…

Semoga perjalanan ekskursi geologi kami di Sulawesi Selatan sepanjang kurang lebih 750 km untuk merunut waktu selama kurang lebih 120 juta tahun yang lalu, penuh berkah, penuh dzikir kepada pencipta alam ini, menambah rasa syukur, dan ilmunya penuh manfaat…Aaamiin.

Berjalan, mengitari ujung selatan pulau K, searah putaran jarum jam…
CLOCKWISE South-Sulawesi! FINISH :) Alhamdulillah…

Closing
Dan hari ini, ditemani laporan ekskursi yang tak kunjung usai, hidung mampet, badan meriang panas-dingin :”( (semoga jadi pelebur dosa), Alhamdulillah diservis hayatiers dengan makanan se-RT (makasih emak-emak), dan masih ditemani #telfon-ibutersayang, kukenang dan kukisahkan kembali kisah perjalanan ini, semoga bermanfaat dan penuh berkah.

Hikmah itu pelajaran terbaik, beberapa hikmah yang kupetik:
  1. Berfikir tentang ciptaan Allah, kesempurnaannya, keseimbangannya, kejadian ciptaan Allah, semakin menyadari betapa agung penciptanya, MashaAllah… :’) #hikmahbelajargeologi.
  2. Berjalanlah bersama temanmu, kau akan belajar banyak darinya J. Selama ekskursi banyak hal yang dipelajari dari teman, mulai dari ilmunya, tabiatnya, ataupun nasihat tersirat. Tentang belajar dari teman perjalanan juga terdapat dalam Surah Al-Kahfi tentang kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, there is a lot of hikmah
  3. Terakhir hikmah yang begitu mengena tentang cermin. Kami menginap di beberapa hotel yang memberikan lampu yang temaram, sehingga saat Aku bercermin tidak menyadari kalau warna kulit telah berubah, saat sampai di salah satu hotel di daerah Sengkang yang lampunya cerah, saat itulah Aku baru menyadari bahwa wajahku sudah benar-benar berubah, dan itulah #cerminkejujuran. Bukan itu sebenarnya hikmah yang ingin kuceritakan, tapi masih satu tema tentang “cermin”. Sungguh, banyak sekali Allah hadirkan cermin-cermin di sekitarku, dari orang-orang yang aku temui, dari lembutnya cara alam menegur kita, pantulan cermin-cermin kejujuran itu seolah menyadarkanku untuk #segeralahberbenah…


Bukankah pelajaran terbaik adalah pelajaran yang merubah sang pembelajar ke arah yang lebih baik?

Bandung, 08 April 2016
@rahmimulyasari